Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (SAW), istilah shalat tarawih belum dipopulerkan. Istilah tarawih mulai dikenal di era Khalifah Umar bin Khattab dan setelah itu berkembang dinamis dari masa ke masa.
Rasulullah lebih banyak melakukan shalat malam pada bulan suci Ramadhan di rumah saja. Para sahabat mencatat, beliau hanya tiga malam saja di Masjid Madinah.
Menurut Ahmad Zarkasih, penulis buku “Sejarah Tarawih” seperti dilansir dari Sindonews, shalat yang disebut dengan istilah shalat tarawih ini adalah salah satu bentuk shalat malam juga pada umumnya.
“Menjadi khusus karena memang ada anjuran Nabi SAW yang khusus untuk menghidupi malam-malam Ramadhan dengan banyak ibadah, salah satu adalah mendirikan shalat malam Ramadhan,” katanya.
Hal itu, kata Zarkasih, sesuai hadits Rasulullah seperti diriwayatkan an-Nasa’i. “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian puasa Ramadhan, dan mensunnahkan qiyam-nya…”
Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW memberikan motivasi kepada kita untuk melaksanakan qiyam Ramadhan tanpa memerintahkan dengan kuat. (HR al-Bukhari).
Dua hadits yang disebutkan itu dan hadits-hadits lain dengan nada sejenis merupakan anjuran yang sifatnya khusus dari segi waktu pengerjaan; yakni malam-malam Ramadhan untuk menghidupinya dengan ibadah, salah satunya shalat.
Dan di sisi lain, hadirs-hadits sejenis juga adalah anjuran yang sangat umum sekali. Bahwa Nabi SAW menganjurkan untuk menghidupi malam Ramadhan dengan ibadah, tapi tidak ditentukan jenis ibadah apa.
Begitu juga shalat yang dianjurkan untuk dilakukan di malam-malam Ramadhan tersebut, menurut Zarkasih, tidak pernah ada sebutan yang eksplisit tentang jumlah rakaat dan format shalat yang bagaimana harusnya. Jadi anjurannya umum untuk semua jenis ibadah dan dengan jumlah rakaat yang tidak ditentukan.
Para sahabat ketika itu menjalankan apa yang diajurkan dengan format yang tidak teratur dan tidak terkomando dengan runutan yang sama. Sebagian mereka melakukannya di rumah, sebagian lain melakukannya di Masjid Nabawi. Mereka yang di Masjid Nabawi pun mengerjakannya tidak dengan alur yang sama; ada yang mengerjakan dengan sendiri-sendiri, dan ada juga yang mengerjakannya dengan berjamaah.
Menurut Zarkasih lagi, yang berjamaah pun berbeda-beda jumlahnya. Ada yang berjamaah dengan 5 orang, ada juga yang berenam, atau bahkan lebih sedikit dari itu, sesuai dengan bacaan siapa yang ia suka, imam itulah yang ia ikuti.
Itulah yang diceritakan oleh Sayyidah ‘Aisyah; Istri Nabi SAW yang kemudian direkam oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya.
“Dari sayyidah ‘Aisyah RA, beliau berkata: orang-orang melaksanakan sholat di masjid Rasulullah SAW di malam-malam Ramadhan itu berpisah-pisah. Mereka mengikuti orang yang punya hafalan Qur’an untuk dijadikan imam sholatnya. Ada yang berjamaah dengan 5 orang, ada juga yang berenam, atau lebih sedikit atau bahkan lebih banyak dari itu. (HR Ahmad)
Itu berarti bahwa shalat di Masjid Nabawi itu memang tidak dihadiri oleh Nabi SAW yang memilih shalat di dalam rumahnya. Karena kalau saja Nabi SAW ada di dalam masjid, niscaya seluruh sahabat yang berada di dalamnya pun akan menjadikan beliau imam salat mereka.
Sampai akhirnya di suatu malam, sebagaimana disebut oleh sayyidina Anas bin Malik RA bahwa Nabi SAW masuk ke dalam masjid di tengah malam untuk menunaikan shalat malam Ramadhan. Dan orang-orang yang ada dalam masjid itu serentak mengikuti Nabi SAW untuk menjadi makmum beliau, termasuk sayyidina Anas RA karena memang beliau yang memulai duluan dan diikuti oleh banyak orang.
Agak lama berdirinya Nabi SAW di shalat tersebut. Namun ketika beliau sadar bahwa beliau diikuti oleh banyak orang di belakang beliau, beliau percepat shalatnya dan setelah selesai shalat, beliau masuk rumah lagi dan meneruskan shalatnya di dalam. Dan shalat yang dilakukan di rumah itulah, shalat yang sangat lama berdirinya.
Zarkasih mengatakan, Rasulullah tidak meneruskan di masjid, karena khawatir memberatkan mereka-mereka yang sudah menjadi makmumnya.
Terkait dengan beberapa sahabat yang melakukannya di rumah; yakni melakukan shalat malam Ramadhan di rumah, Nabi SAW pun membolehkan, dan tidak mengingkari itu.
Terbukti ketika Nabi SAW ditanya oleh sahabat Ubai bin Ka’ab yang ternyata shalat malam Ramadhan di rumah menjadi imam untuk orang-orang di rumahnya.
Masih dari Kitab yang sama yakni Kitab Qiyam Ramadhan 6, yang disusun oleh Imam al-Marwadzi, disebutkan tentang sahabat Ubai bin Ka’ab:
Dari jabir bin Abdullah, disebutkan bahwa Ubai bin Ka’ab datang kepada Nabi SAW kemudian bertanya: “Wahai Rasul, semalam ada sesuatu di rumah ku.” Nabi SAW bertanya: “Apa itu?”, Beliau menjawab: “Wanita-wanita di rumahku mengaku tidak punya hafalan Qur’an, maka mereka salat menjadi makmumku di rumah, dan akupun salat menjadi imam mereka dengan 8 rakaat!” Nabi SAW pun diam seakan memberikan isyarat ridha (kebolehan). (HR al-Marwadzi)
Begitu juga Nabi SAW yang disebutkan dalam beberapa riwayat. Beliau mengajak orang rumahnya untuk mendirikan malam Ramadhan dengan shalat malam. Setidaknya Nabi SAW pernah dalam 4 kali mengumpukan keluarga untuk shalat malam bersamanya.
Dari Anas bin Malik r.a. mengatakan bahwa Nabi SAW mengajak istrinya malam 21 Ramadhan untuk shalat malam sampai sepertiga malam. Kemudian beliau ajak lagi di malam ke 22, dan shalat bersamanya sampai pertengahan malam.
Lalu di malam ke 23 mereka sholat malam sampai 2/3 malam. Kemudian Nabi SAW juga mengajaknya lagi untuk sholat di malam 24, dan mereka sholat sampai subuh. Dan Nabi SAW tidak lagi mengajaknya kemudian.
Menurut Ahmad Zarkasih, hadits-hadits yang disebutkan itu sebetulnya menjadi informasi bagi kita bahwa memang syariat shalat malam di malam-malam Ramadhan ketika awal-awal pensyariatannya, masih berupa anjuran umum.
Dan datangnya Nabi SAW kepada sahabat yang sedang beribadah di Masjid Nabawi lalu mengikuti jadi makmum Beliau, dan shalatnya Beliau sendirian di rumah lalu di malam berikutnya mengajak istri untuk berjamaah, memberikan banyak informasi dasar tentang shalat malam di bulan Ramadhan.
Pertama, itu berarti shalat malam di bulan Ramadhan, waktunya tidak pernah ditentukan, apakah ia di awal atau di tengah atau di akhir.
Kedua, shalat malam yang dikerjakan di malam Ramadhan itu tidak diharuskan dikerjakan sendiri atau berjamaah. Keduanya boleh dilakukan. Nabi SAW pun melakukan keduanya.
Ketiga, Nabi SAW tidak ingin memberatkan umatnya. Dalam keadaan sendiri, Nabi SAW mengerjakan shalat dengan pengerjaan yang lama. Tapi ketika beliau mengerjakan di masjid lalu sadar diikuti oleh sahabat di belakangannya, Nabi mempercepat itu agar tidak memberatkan.
Keempat, riwayat yang sampai kepada kita terkait awal-awal pensyariatan qiyam Ramadhan, tidak pernah disebutkan ada batasan jumlah rakaat, baik itu minimal atau maksimal. Nabi SAW tidak diriwayatkan secara eksplisit Nabi SAW menganjurkan jumlah rakaat tertentu.
Nabi SAW hanya mengimami sebanyak 3 malam. Menurut Zarkasih itu terjadi di malam ke-23, 25, dan juga 27, dengan waktu sholat yang lamanya berbeda-beda. (IA/Sindonews)