Taqwaddin: Penghubung Komisi Yudisial di Aceh Menjaga Hakim untuk Peradilan Lebih Berkualitas
“Menurut saya, jika istilah mengawasi yang digunakan sebagaimana pada spanduk (standing banner) PKY, maka akan menimbulkan resistensi dan benturan dengan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung. Tetapi jika istilah menjaga hakim yang digunakan, ini dapat dipahami dalam rangka menjaga kemuliaan dan keluhuran hakim sebagai sebagai pejabat negara yang dimuliakan, yang dipersepsi sebagai Wakil Tuhan,” terangnya.
Sebagai Wakil Tuhan maka hakim diberi kewenangan menghukum seseorang berdasarkan bukti kesalahannya, sedangkan dalam perkara keperdataan, hakim berwenang menetapkan hak-hak seseorang atas sesuatu yang dipersengketakan.
Semua putusan hakim itu harus dimulai dengan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka karena itu, dalam persidangan Hakim sering dipanggil “Yang Mulia” atau offium noble.
Karena Hakim sebagai pejabat negara yang dipanggil dengan Yang Mulia, sehingga perilaku hakim harus terpelihara dan tidak boleh tercela.
“Hemat saya di sinilah pentingnya peran Komisi Yudisial dalam menjaga keluhuran dan kemuliaan Hakim agar para Hakim tidak melakukan perbuatan tercela dan di sisi lain agar warga masyarakat tidak mencela atau membully hakim manakala kalah dalam berperkara.
Hakim dalam membuat putusan harus benar-benar independen dengan mengedepankan integritas dan profesionalitas.
Hakim harus mencurahkan segala kapasitanya untuk menghasilkan putusan-putusan yang berkualitas. Sehingga, hadirnya Penghubung Komisi Yudisial di Aceh menurut saya tepat dalam rangka menjaga kemuliaan Hakim guna menghasilkan proses peradilan yang lebih berkualitas,” ujar Dr Taqwaddin, yang juga Akademisi senior USK.