Infoaceh.net, SABANG— Dalam senyap, sebuah ironi besar tengah berlangsung di tubuh Baitulmal Kota Sabang. Seorang tenaga harian lepas (THL) yang seharusnya tunduk pada prinsip kerja yang jelas, kini menikmati dua peran sekaligus sebagai Komisioner Pengawas Pemilihan ad hoc, dan sebagai pegawai yang tetap menerima upah dari Baitulmal.
Namun, yang lebih menyakitkan bukan hanya keberadaan praktik ini, melainkan sikap Kepala Baitulmal yang memilih menutup mata dan membiarkannya berjalan tanpa koreksi.
Kepala Sekretariat Baitulmal Kota Sabang, Iskandar, dengan nada tak tergoyahkan menyatakan bahwa pembayaran gaji tetap dilakukan selama THL tersebut melakukan absensi.
“Tidak ada dasar bagi saya untuk tidak memberikan gaji. Kita membayar sesuai kehadiran,” ujarnya seakan hukum dan etika dapat dikalahkan oleh sekadar absensi.
Alibi yang diberikan tidak hanya rapuh, tetapi juga menantang nalar publik. Bagaimana mungkin seseorang yang memiliki dua tanggung jawab besar dapat menjalankan tugasnya secara optimal di kedua tempat. Bagaimana pengawasan begitu lemah hingga praktik semacam ini justru dinormalisasi.
Lebih dari sekadar problem administratif, ini adalah cerminan lemahnya integritas pengelolaan pemerintahan. Iskandar bahkan berani menegaskan bahwa tidak ada kewajiban bagi THL untuk masuk dalam jumlah hari tertentu per bulan atau bekerja dalam durasi tertentu per hari.
“Kalau dia masuk kerja, dibayar. Kalau tidak, ya tidak,” katanya dengan enteng, seolah-olah prinsip tanggung jawab adalah sesuatu yang bisa dikompromikan.
Tidak Pantas
Sementara itu, Asisten III Bidang Administrasi Pemerintah Kota Sabang, Drs. Kamaruddin, melihat fenomena ini sebagai tamparan bagi etika birokrasi. Ia dengan tegas menyatakan bahwa menerima gaji dari dua institusi dengan tuntutan kerja penuh waktu adalah tindakan yang tidak pantas, bahkan berpotensi mencederai independensi lembaga penyelenggara pemilu.
“Dari sisi kepantasan, ini jelas tidak benar. Anggota Panwaslih harus menjaga independensi. Bagaimana mungkin seseorang bisa bekerja penuh waktu di dua tempat tanpa mengorbankan profesionalisme,” serunya, tajam.
Lebih jauh, Kamaruddin menyoroti standar yang berlaku bagi ASN yang bergabung dalam lembaga penyelenggara pemilu, di mana mereka diwajibkan menonaktifkan statusnya demi menghindari konflik kepentingan.
Namun, mengapa THL di Baitulmal bisa dengan santai menikmati dua sumber pendapatan tanpa konsekuensi apa pun. Sebuah pertanyaan yang menunggu jawaban dari pemerintah daerah.
Gelombang reaksi dari berbagai kalangan kian menguat. Fakta bahwa pegawai non-ASN tersebut menerima dua gaji satu dari Panwaslih, satu dari Baitulmal telah menjadi perbincangan hangat yang mendesak transparansi dan kejelasan aturan.
Apakah Kepala Baitulmal akan dipanggil untuk memberikan klarifikasi, ataukah birokrasi akan kembali membiarkan kejanggalan ini berlalu begitu saja. Jika praktik semacam ini terus dibiarkan, maka yang tercederai bukan hanya moralitas pemerintahan, tetapi juga kepercayaan publik yang selama ini dipertaruhkan.