YARA Minta Pj Gubernur Ambil Alih Kelola Blok Migas di Aceh Timur dan Tamiang
BANDA ACEH — Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin meminta Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki, untuk mengambil alih kelola Blok Migas di Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Timur.
Permintaan ini, kata Safaruddin, disampaikan karena dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber daya Alam Migas di Aceh, dan surat dari Kementerian ESDM tanggal 26 Mei 2023 tentang pengalihan pengelolaan sebagian wilayah kerja Pertamina EP di Wilayah Aceh diserahkan kepada Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).
Safaruddin meminta, agar SKK Migas segera mengkoordinasikan penyusunan dan penyampaian usulan persetujuan pengembalian dan penetapan wilayah kerja baru hasil carved out serta usulan term and condition yang telah disepakati bersama antara Kepala SKK Migas, Kepala BPMA dan Direktur Utama PT Pertamina EP dengan mengacu pada ketentuan, tidak boleh ada penambahan beban baru bagi afiliasi PT Pertamina EP yang akan menjadi pengelola wilayah baru hasil carved out.
Menurut dia, sampai saat ini, tidak ditindak lanjuti oleh SKK Migas, BPMA dan PT Pertamina EP.
Safar melanjutkan, jika melihat aturan dalam PP 23 tahun 2015 dan juga memperhatikan surat Menteri ESDM pada tanggal 26 Mei 2023, harusnya SKK Migas, BPMA sudah melakukan pengembalian wilayah blok migas di Rantau Kuala Simpang dan Rantau Perlak dari SKK Migas ke BPMA, dan Pertamina membuat anak usahanya untuk Blok Migas di Aceh dan melakukan kontrak kerja sama dengan BPMA.
“Namun, lanjut dia, sudah bertahun- tahun hal ini tidak dijalankan oleh SKK Migas, BPMA dan Pertamina EP,” tulis Safaruddin Jum’at (26/1/2024), dalam suratnya kepada Pj Gubernur Aceh.
YARA juga telah menyurati SKK Migas pada 7 Desember 2024 agar melakukan adendum kontrak migasnya dengan Pertamina dengan mengeluarkan blok migas yang ada di Aceh dalam kontrak Pertamina dan SKK Migas.
Hal tersebut juga tidak diindahkan walaupun itu melanggar PP Nomor 25 tahun 2016 dan juga surat dari Kementerian ESDM. Karena banyak hal yang tidak berjalan sesuai aturan dan berpotensi merugikan Aceh.