Mengenang 24 Tahun Pembantaian Teungku Bantaqiah di Beutong Ateuh

Mengenang 24 tahun pembantaian ulama Teungku Bantaqiah di Beutong Ateuh pada 23 Juli 1999

BANDA ACEH — Dua puluh empat tahun silam atau 23 Juli 1999, telah terjadi sebuah peristiwa mengerikan dan juga merupakan satu dari sekian banyak pembantaian selama operasi militer yang dilaksanakan di Aceh, yakni peristiwa pembantaian warga sipil oleh aparat TNI di Beutong Ateuh atau juga dikenal sebagai peristiwa Teungku Bantaqiah.

Salah satu puncak kekejaman militer Indonesia di Aceh adalah pembantaian Teungku Bantaqiah dan para santrinya pada 1999.

Peristiwa ini bermula dari tuduhan tidak berdasar pihak TNI terhadap Teungku Bantaqiah (seorang pimpinan Pesantren Babul Al Nurillah) bahwa dirinya adalah pendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan menyimpan logistik berupa senjata untuk GAM di pesantrennya.

Tuduhan ini tidak terbukti, namun imbasnya Pesantren Babul Al Nurillah menjadi salah satu target pembantaian TNI dalam operasi militer 23 Juli 1999 di bawah komando Korem 011/Lilawangsa bersama dengan Batalyon 328 Kostrad yang menyebabkan Tengku Bantaqiah dan putranya (Usman Bantaqiah), serta 54 santri meninggal dunia.

Tragedi Beutong Ateuh adalah sebuah peristiwa pembantaian warga sipil di Desa Blang Meurandeh, Kecamatan Beutong Ateuh, Kabupaten Nagan Raya oleh personel TNI-AD pada hari Jum’at, 23 Juli 1999.

Peristiwa ini terjadi di balai pengajian Teungku Bantaqiah yang dilakukan oleh lebih dari 100 personel TNI-AD yang berada di bawah kendali operasi (BKO) Korem 011/Lilawangsa yang terdiri dari pasukan Yonif 131 dan 133 dengan didukung satu pleton pasukan dari Batalyon 328 Kostrad.

Pasukan ini dipimpin oleh Kasi Intel Korem 011/Lilawangsa Letkol Inf Sudjono. Jumlah korban tewas mencapai 54 santri beserta Teungku Bantaqiah dan anaknya.

Warga sipil tersebut dibantai dengan tuduhan terlibat Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan menyimpan senjata dan ganja.

Dilansir dari Tirto.id, Komandan Korem (Danrem) Lilawangsa Kolonel Syafnil Armen mendapat informasi tersebut dari bawahannya. Informasi yang sudah lama ditunggu-tunggu itu menyebut seorang ulama diduga menguasai benda-benda berbahaya.

Teungku Bantaqiah, nama sang ulama kenamaan dari Beutong Ateuh, Aceh Barat, dicurigai menyimpan ratusan pucuk senjata api. Dugaan lain menyebutkan senjata-senjata itu ditanam di sekitar pesantrennya.

Di Pesantren Babul Mukarramah Desa Blang Meurandeh, Bantaqiah memang mengampu ratusan santri yang belajar agama kepadanya.

Ulama itu juga dicurigai memiliki pasukan bersenjata sejumlah 300 personel. Danrem dengan cepat menarik kesimpulan: senjata dan pasukan tersebut berkaitan dengan aktivitas Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Mengantisipasi gelagat yang tidak dikehendaki, Danrem segera bereaksi atas informasi tersebut. Ia mengirim perintah lewat telegram bertanggal 15 Juli 1999 kepada beberapa komandan batalyon. Inti perintahnya: cari, temukan, dekati, dan tangkap tokoh gerakan pengacau keamanan dan simpatisannya, hidup atau mati.

Berdasarkan perintah Danrem, dibentuklah pasukan gabungan beranggotakan 215 personel di bawah pimpinan Letnan Kolonel Heronimus Guru dan Letnan Kolonel Sudjono sebagai pengawas operasi.

Pada 22 Juli 1999, pasukan gabungan tiba di Beutong Ateuh. Mereka mendirikan tenda-tenda persiapan untuk melakukan penyerbuan. Warga sekitar menyaksikan kedatangan pasukan dengan perasaan cemas. Mereka tidak tahu mengapa tentara datang tiba-tiba dan dalam jumlah yang sangat banyak. Tapi pengalaman selama masa Daerah Operasi Militer (DOM) telah mengasah insting mereka: sesuatu akan terjadi.

Esoknya, Jum’at, 23 Juli 1999, sekitar pukul 11.00 WIB, pasukan bersenjata lengkap mulai memasuki pesantren. Sebagian dari mereka menutupi wajah dengan cat hitam dan hijau.

Di dalam komplek pesantren, beberapa pasukan melakukan psy-war: meneriakkan nama Bantaqiah dengan hujatan dan cacian. Bantaqiah dan ratusan santri yang tengah mengaji mendadak tegang.

Tak lama kemudian, Bantaqiah bersama seorang muridnya turun menemui mereka. Setelah bertemu Bantaqiah dan menyampaikan urusan mereka, Sudjono mengontak Heronimus lewat radio soal tindakan yang harus dilakukan. Heronimus tak kunjung menjawab. Sudjono pun meninggalkan lokasi.

Pasukan yang meradang itu menggeledah pesantren dan dengan kasar meminta memerintahkan semua santri laki-laki dewasa turun serta berkumpul di halaman pesantren dalam posisi jongkok sambil memperlihatkan KTP.

Mereka disuruh melucuti pakaian, kecuali celana dalam. Bersamaan dengan penggeledahan tersebut, tim yang dipimpin Sudjono datang lagi ke lokasi.

Laporan Pantau menyebut, Sudjono memaksa Bantaqiah menyerahkan semua bedil yang diduga ia simpan. Bantaqiah membantah. Ia merasa tak pernah memiliki sepucuk pun senjata seperti yang dituduhkan.

Tak puas dengan pengakuan Bantaqiah dan tetap memaksa, pasukan pun kehilangan kesabaran. Di tengah-tengah situasi menegangkan, Sudjono mempersoalkan sebuah antena radio pemancar yang terpasang pada atap pesantren.

Ia menyuruh Usman, salah satu putra Bantaqiah, untuk mencopotnya. Setelah itu, kekejian perlahan-lahan mulai menampakkan wujudnya.

Usman berjalan menuju rumah untuk mengambil peralatan agar lebih mudah membongkar antena. Namun sebelum ia mencapai rumah yang jaraknya hanya 7 meter dari tempat berkumpul, seorang pasukan memukulnya dengan senjata api.

Menyaksikan putranya disakiti, Bantaqiah pun berusaha mendekati dan memeluknya. Bersamaan dengan mendekatnya Bantaqiah ke arah Usman, pasukan mengumandangkan aba-aba menembak.

Detik itu juga, Teungku Bantaqiah, ulama yang begitu dihormati di seantero Aceh Barat, jatuh tersungkur bersimbah darah. Ia tewas seketika.

Pasukan kemudian mengeluarkan tembakan beruntun dan membabi buta ke arah kumpulan santri. Tak sampai satu menit, 34 santri menyusul sang guru.

Setelah berondongan tembakan berulang-ulang itu, pasukan mengumpulkan santri yang masih hidup untuk dibariskan. Dengan dalih membawa mereka berobat, santri yang mengalami luka diangkut, bahkan santri yang sama sekali tidak terluka juga ikut dibawa. Semuanya berjumlah 23 orang.

Mereka dinaikkan truk untuk dibawa menuju Takengon, Aceh Tengah. Hanya beberapa orang saja yang sengaja ditinggalkan. Di tengah perjalanan, tepat di kilometer 7, dua puluh tiga santri itu diturunkan dan diperintahkan berjongkok persis pada bibir sebuah jurang.

Di situlah mereka juga ditembaki secara membabi buta. Kasus pembantaian Bantaqiah dan santri-santrinya di Beutong Ateuh ini kemudian menjadi sorotan nasional, bahkan menjadi perhatian dunia. Apa yang dilakukan Sudjono dan anak buahnya termasuk kategori pelanggaran HAM berat.

Secara formal kasus ini telah diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan Koneksitas pada tahun 2000. Namun, penyelesaiannya belum mampu memberikan keadilan kepada korban dan keluarganya serta hanya digelar sebagai formalitas untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa “pengadilan telah terlaksana”.

Kasus ini dinilai mandek dan tidak ada atensi khusus dari pemerintah pusat maupun daerah.

Padahal, melalui pihak KKR Aceh yang pada tahun 2020 telah menyatakan akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti Pemerintah Kabupaten Nagan Raya, keluarga korban, serta pimpinan Dayah untuk bersama-sama mewujudkan pembangunan memorialisasi kasus Tengku Bantaqiah sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan agar hak keluarga korban dipenuhi oleh negara. (IA)

Tutup