Tuwanku Raja Keumala, Ulama Pejuang Bangsawan Aceh
Adapun Syekh Nawawi al-Bantani telah lebih dahulu wafat di tahun 1897 dan Syekh Sayyid Bakri Syatta telah juga wafat di tahun 1892, Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan wafat di tahun 1886.
Lebih kurang selama empat tahun Tuwanku Raja Keumala berada di Mekkah berguru kepada banyak para ulama Mekkah. Ketika berangkat ke Mekkah beliau memang sudah alim, belajar dari para teungku chik, dan setelah belajar dengan sungguh-sungguh dengan segenap pemahaman tentu telah mengantarkan Tuwanku Raja Keumala menjadi seorang Teungku Chik yang bangsawan.
Tahun 1908 beliau pulang ke Aceh, setahun berikutnya para ulama Aceh seperti Teungku Hasan Kruengkalee dari Yan Keudah berangkat ke Mekkah tahun 1909. Adapun yang paling lama di Mekkah disebutkan ialah Abu Indrapuri selain dari ulama lain Teungku Haji Usman Maqam Gandapura yang menetap belasan tahun.
Sepulangnya dari Mekkah Tuwanku Raja Keumala mulai menfokuskan perjuangannya dalam bidang ilmu pengetahuan. Bila di usianya 21 dahulu Tuwanku Raja Keumala lebih banyak berjuang melalui senjata, maka pada tahun 1908 mulailah beliau berjihad dengan memajukan pendidikan terutama pendidikan agama yang menjadi keahliannya.
Atas seruan Tuwanku Raja Keumala, mulailah para ulama Aceh mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan menghidupkan kembali syiar-syiar keagamaan yang selama ini terbengkalai karena keadaan peperangan. Pada tahun 19016 berdirilah Dayah Abu Kruengkale, dua tahun berikutnya berdiri pula Dayah Lambhuk.
Umumnya dayah di Aceh semakin semarak berkembang setelah tahun 1920, ditandai dengan berdirinya Dayah Hasbiyah Indrapuri di tahun 1922, dimana dijemput pulang Teungku Haji Ahmad Hasballah dari Yan Keudah Malaysia, di Aceh Selatan tepatnya Labuhan Haji juga berdiri Dayah Madrasah al-Khairiyah yang dibangun oleh Abu Ali Lampisang adek sepupu Abu Kruengkalee yang juga merupakan guru utama dari Teungku Syekh Muda Waly.
Demikian pula di Blang Pidie berdiri Jam’yatul Muslimin yang dipimpin oleh Teungku Yunus Lhoong yang kemudian di tahu 1928 dilanjutkan kepemimpinan dengan mengubah dayah tersebut menjadi Bustanul Huda Blangpidie. Demikian pula berdiri banyak dayah lainnya di Kenaloi, Piyeung, Titeu, Tanjongan, Samalanga, Cot Kuta dan dayah lainnya. Dan hampir semua ulama yang dikirim ke daerah-daerah atas rekomendasi Tuwanku Raja Keumala dan prasaran dari Abu Kruengkalee.