Banda Aceh — Pengelolaan wakaf yang baik dan benar akan meningkatkan bergaining Aceh dalam memenuhi kemampuan fiskal daerah, terutama menghadapi berakhirnya dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh pada tahun 2027.
Wakaf di Aceh diharapkan bakal menjadi alternatif pengganti dana Otsus.
Hal itu disampaikan Pj Sekretaris Aceh Azwardi Abdullah diwakili Kepala Sekretariat Baitul Mal Aceh (BMA) Amirullah saat memberi sambutan pada acara pembukaan FGD Penyusunan Instrumen Pendataan dan Pemetaan Potensi Wakaf Produktif di Hotel Grand Nanggroe Banda Aceh, Kamis (25/4/2024).
Menurut Azwardi, dalam lima belas tahun terakhir dana Otsus yang dikucurkan untuk Aceh mencapai Rp 95,93 triliun.
Karena itu, menjelang berakhirnya dana Otsus, Aceh harus menggali sumber-sumber dana baru seperti dari zakat, infak, wakaf uang dan dana filantropi lainnya.
“Pada tahun 2023, Aceh hanya menerima dana Otsus satu persen dana yang berasal dari platform dana alokasi umum (DAU) nasional. Jika tahun 2022 Aceh masih menerima Rp 7,56 triliun maka pada tahun 2024 Aceh hanya menerima dana Otsos Rp 3,9 triliun atau setengahnya hingga tahun 2027,” ujarnya.
Azwardi menegaskan, ketika nantinya dana Otsus benar-benar berakhir, maka sumber dan kapasitas fiskal Aceh dapat ditopang oleh pengelolaan wakaf produktif.
“Untuk itu, mari kita tingkatkan sensitivitas dan peningkatan kapasitas dana untuk melakukan sesuatu aksi yang lebih cerdas dan inovatif dalam membangkitkan marwah Aceh yang masih mengalami ketertinggalan di bidang ekonomi,” terangnya.
Pada bagian lain sambutannya, ia meminta BMA meningkatkan peran dalam mengembangkan wakaf produktif di Aceh.
Tahapan yang sangat penting dilakukan adalah melakukan pendataan aset wakaf yang memiliki potensi ekonomi dan bisnis, serta yang memiliki embrio usaha atau UMKM yang berbasis aset wakaf.
“Sudah seharusnya FGD ini merumuskan wakaf produktif yang dapat kita kembangkan di masa-masa akan datang, sebab upaya ini akan berdampak secara langsung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, terwujudnya keadilan sosial, dan penanggulangan kemiskinan,” ujarnya.
BMA perlu merancang instrumen yang tepat untuk melakukan pendataan yang akan dilakukan. Selanjutnya tentu saja BMA perlu segera turun ke lapangan di seluruh Aceh untuk melakukan pendataan, menghimpun informasi, mengoleksi data, serta memanfaatkan data-data wakaf produktif tersebut.
“Dengan keseriusan dan kesungguhan Baitul Mal Aceh, saya yakin dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi Aceh akan memiliki sistem data perwakafan sendiri. Wakaf pun akan berkontribasi terhadap fiskal Aceh,” harap Azwardi.
Ketua Panita Pelakasana Fachrur Razi menjelaskan, FGD yang berlangsung satu hari itu diikuti 25 pemangku kepentingan wakaf seperti BMA, Baitul Mal Kabupaten/Kota, dan Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Peserta lainnya dari unsur Kementerian Agama, Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh, Dinas Pertanahan Aceh, BPS, Nazir Masjid Oman Al-Makmur, Nazir Masjid Jami’ Luengbata, serta Yayasan Wakaf Baitul Asyi.
“Untuk menghasilkan instrumen pendataan wakaf produktif yang sempurna, kami mengundang dua narasumber yaitu Dr HA Gani Isa dari BWI dan Dr Saiful Mahdi dosen Universitas Syiah Kuala,” pungkas Kasubbag Wakaf dan Perwalian BMA ini. (IA)