Soal Izin Pertambangan, Pusat Harus Hormati Kekhususan Aceh
BANDA ACEH — Anggota Komisi VI DPR RI asal Aceh H Rafly meminta agar Pemerintah Pusat menghormati kekhususan dan kewenangan Aceh dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara (Minerba).
Menurut Politisi PKS itu, setiap kebijakan pemerintah pusat harus benar-benar dipastikan tidak menciderai kewenangan yang sudah diatur dalam konsensus perdamaian MoU Helsinki dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
“Kekayaan Minerba di Provinsi Aceh harus menjadi prioritas untuk dikelola sebaik-baiknya dengan memperhatikan aspek hukum, sosial kemasyarakatan, dan pelestarian lingkungan. Pemerintah Aceh secara mandiri dipersilahkan mengelola Minerba menurut Pasal 156 ayat (1), (2), dan (3) UUPA,” ungkap H Rafly dalam keterangannya, Rabu (15/2).
Sebelumnya pada tanggal 19 Januari 2023, Pemerintah Pusat melalui surat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bernomor T-125/MB.05/SJN.H/2023 menjelaskan bahwa Pemerintah RI telah menetapkan PP Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh sebagai turunan UUPA.
Regulasi ini menyebutkan bahwa Penanaman Modal Asing (PMA), wilayah pertambangan lintas provinsi, dan di atas 12 Mil Laut menjadi kewenangan Pemerintah Pusat melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Kementerian ESDM berharap agar Pemerintah Aceh dapat melakukan peninjauan atas ketentuan UUPA, sehingga dapat memenuhi Norma, Standar, Prosedur dan Ketentuan (NSPK) sesuai ketentuan UU pertambangan mineral dan batubara serta UU Cipta kerja terkait Perizinan Berusaha.
Sebagaimana diketahui, Pemerintah RI telah menerapkan kebijakan investasi berbasis risiko khususnya industri pertambangan. Lahirnya aplikasi berbasis online berupa One Map Minerba (MOMI) dan Minerba One Data Indonesia (MODI) yang disediakan Kementerian ESDM, dan mewajibkan seluruh perusahaan pertambangan mendaftarkan diri dengan mengikuti ketentuan regulasi nasional.
Dalam surat tersebut, Menteri ESDM mengajak Pemerintah Aceh untuk berkonsultasi dengan Kementerian ESDM, Kementerian Dalam Negeri, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk membantu penyelesaian persoalan ini, sehingga ada kepastian hukum yang kuat tentang investasi pertambangan minerba di Aceh, termasuk kepentingan nasional di wilayah Aceh.
“Pemerintah, rakyat Aceh, stakeholder, dan semua elemen harus segera merumuskan langkah strategis pengelolaan tambang minerba. Kekayaan alam ini merupakan nikmat dan anugerah Tuhan, sehingga patut dikelola sebaik-baiknya. Agar mendatangkan kemakmuran bagi Aceh.
Pemerintah harus memastikan perizinan pertambangan mineral dan batubara yang sudah diterbitkan sesuai dengan kaidah pelaksanaan pertambangan yang baik dan dilakukan dalam koridor Good Corporate Governance, tidak main tunjuk langsung tampa tender atau beauty contest. Jangan lah ini terjadi di Aceh setelah sekarang UU memberikan kewenangan tersebut untuk Aceh,” lanjut Rafly.
Anggota DPR RI tersebut meminta Pemerintah Aceh harus segera membentuk Badan Pengelolaan Pertambangan Minerba Aceh agar memperkuat pelaksanaan kekhususan Aceh, sehingga proses koordinasi, pelaksanaan, dan pengawasan terlaksana efektif, efisien, dan tercipta transparansi kepada rakyat Aceh baik tahap eksplorasi maupun produksi.
Hal ini adalah mendorong agar pengelolaan pertambangan mengikuti kaidah keilmuan yang dimulai dari proses perizinan, evaluasi, pengawasan, pemberian teguran, dan sanksi yang terukur.
Semua izin tambang yang sudah dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh harus dievaluasi total, dan dipublis kepada rakyat Aceh, agar publik tahu mana tambang yang masih aktif dan sudah mati. Termasuk skema bagi hasil kepada daerah, dan alokasi penggunaan untuk membangun SDM.
“Investasi asing sektor minerba di Aceh juga dipastikan harus menghormati kekhususan dan kearifan lokal, serta menjunjung tinggi kewenangan Aceh mengacu pada UU Nomor 11/2006, yang pelaksanaan teknisnya diatur dalam mekanisme khusus antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat, dan mengutamakan manfaat bagi Aceh.
Mewajibkan investasi asing harus bekerja sama dengan Perusahaan Daerah. Dengan demikian terwujudlah retorika kedaulatan Aceh di bidang pertambangan mineral dan batubara yang diinginkan oleh rakyat Aceh,” pungkasnya. (IA)