Aceh Provinsi Termiskin, Program Pengentasan Tidak Sesuai Kebutuhan
Oleh: Luxfatul Azizah*
KEMISKINAN di Aceh telah menjadi salah satu isu besar yang terus mengemuka, terutama setelah provinsi ini dinobatkan sebagai yang termiskin di Sumatera dan termasuk dalam sepuluh provinsi termiskin di Indonesia.
Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan serius, mengingat Aceh dikenal kaya sumber daya alam (SDA). Keberadaan otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh pun seharusnya menjadi salah satu alat untuk mempercepat pembangunan dan mengurangi angka kemiskinan.
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa pengelolaan yang efektif masih jauh dari harapan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh, selama periode Maret 2023 hingga Maret 2024, garis kemiskinan di Aceh mengalami kenaikan signifikan, baik di kota maupun di desa.
Pada Maret 2023, garis kemiskinan di Aceh tercatat sebesar Rp 627.534 per kapita per bulan. Angka ini naik menjadi Rp 661.227 per kapita per bulan pada Maret 2024, atau meningkat sebesar 5,37 persen.
Kenaikan garis kemiskinan ini menandakan adanya peningkatan ketimpangan ekonomi yang semakin dirasakan oleh masyarakat, khususnya mereka yang berada di bawah garis kemiskinan.
Faktor Penyebab Kemiskinan
Berdasarkan laporan dari Bappeda Aceh dalam Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Aceh Tahun 2020, ada lima faktor utama yang menyebabkan tingginya angka kemiskinan di Aceh:
1. Tingginya Beban Pengeluaran
Penduduk miskin di Aceh harus menghadapi beban pengeluaran yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan dasar, baik itu untuk pangan (beras, ikan, daging, dll) maupun non-pangan (perumahan, pendidikan, bahan bakar, dan sanitasi).
2. Rendahnya Pendapatan
Pendapatan masyarakat miskin yang rendah berkontribusi pada rendahnya kemampuan mereka memenuhi standar hidup yang layak.
3. Rendahnya Tingkat Pendidikan dan Ketrampilan
Banyak penduduk miskin yang memiliki tingkat pendidikan dan ketrampilan rendah, sehingga mereka kesulitan mengakses peluang kerja yang lebih baik.
4. Tingginya Biaya Transaksi Ekonomi
Terbatasnya infrastruktur, serta mahalnya biaya transportasi dan konektivitas antar wilayah, menghambat aktivitas ekonomi dan mengurangi daya saing masyarakat.
5. Meningkatnya Harga-harga Kebutuhan Pokok
Kenaikan harga bahan kebutuhan pokok, seperti pangan dan energi, yang terus berlanjut juga menjadi faktor utama dalam meningkatnya garis kemiskinan.
Masalah dalam Program Pengentasan Kemiskinan
Bappeda Aceh juga melakukan kajian mendalam terkait faktor struktural yang menyebabkan tingginya angka kemiskinan di provinsi ini.
Beberapa temuan penting yang diidentifikasi adalah:
1. Desain Program yang Belum Tepat
Banyak program pengentasan kemiskinan yang belum dirancang dengan tepat, tidak sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat miskin di Aceh.
2. Data yang Tidak Valid
Validitas data yang digunakan dalam perencanaan program sering kali tidak akurat, sehingga sasaran program tidak tepat.
3. Mekanisme Pelaksanaan yang Kurang Efektif
Program yang ada sering kali terhambat oleh perencanaan yang kurang matang dan anggaran yang tidak efisien, sehingga tidak berdampak signifikan.
4. Distribusi yang Tidak Merata
Faktor-faktor produksi seperti akses terhadap modal, teknologi, dan informasi sering kali tidak merata di seluruh wilayah Aceh, membuat beberapa daerah kesulitan untuk berkembang.
5. Kurangnya Sinergi antar Pemangku Kepentingan
Terkadang, implementasi program penanggulangan kemiskinan kurang melibatkan koordinasi yang baik antara pemerintah, masyarakat dan sektor swasta, sehingga hasilnya tidak optimal.
Tantangan Lapangan Kerja
Selain faktor-faktor struktural tersebut, keterbatasan lapangan kerja juga menjadi masalah besar di Aceh. Banyak lulusan perguruan tinggi yang mencari pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang pada gilirannya menciptakan persaingan ketat dalam seleksi ASN.
Fenomena ini mengarah pada kemacetan dalam penciptaan lapangan pekerjaan yang produktif, sementara banyak sektor potensial lainnya di Aceh yang belum sepenuhnya digali dan dimanfaatkan.
Evaluasi dan Harapan ke depan
Aceh memiliki banyak potensi untuk keluar dari jebakan kemiskinan, tetapi pemerintah provinsi perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan yang ada.
Pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan akses pendidikan dan pelatihan keterampilan, serta peningkatan kualitas infrastruktur dan konektivitas antar wilayah, harus menjadi prioritas utama.
Di samping itu, pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan dan efisien dapat membuka peluang ekonomi yang lebih luas, sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada sektor PNS dan membuka ruang bagi sektor ekonomi lainnya.
Masyarakat Aceh, khususnya yang berada di bawah garis kemiskinan, sangat berharap otoritas lokal dapat memperbaiki kebijakan dan strategi penanggulangan kemiskinan yang ada.
Tanpa adanya perubahan signifikan dalam pengelolaan sumber daya dan program sosial, maka Aceh akan terus menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakatnya.
Kemiskinan di Aceh bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah struktural dan manajerial.
Pemerintah Aceh harus berani melakukan reformasi dalam desain dan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan serta memperbaiki distribusi sumber daya agar lebih merata.
Dengan begitu, Aceh dapat memanfaatkan potensi besar yang dimilikinya dan keluar dari statusnya sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia.