Sabang, Demokrasi Damai di Ujung Barat Indonesia
Perbedaan adalah anugerah. Bila ia dijaga dengan kasih, maka tak akan pernah berubah menjadi luka.
Di sudut paling barat Indonesia, kala mentari pertama menyentuh ujung Pulau Weh, Sabang tidak hanya terjaga oleh desir ombak dan desir angin, tapi juga semangat rakyat yang kian matang dalam bernegara.
Kota ini, yang kerap disebut sebagai permata di ujung negeri, baru saja melewati sebuah fase penting dalam perjalanan demokrasinya Pemilu dan Pilkada 2024 serta Pemungutan Suara Ulang (PSU).
Banyak hal dapat menjadi sorotan. Tetapi satu hal yang paling menyentuh adalah bagaimana masyarakat Sabang menyambut proses ini dengan hati terbuka, dengan kedewasaan yang mencerminkan peradaban yang tak hanya tumbuh, tetapi mengakar kuat.
Sabang, selama ini, dikenal sebagai kota dengan denyut pelan tapi penuh kesadaran. Kala hiruk-pikuk politik mengguncang berbagai daerah, Sabang justru memilih bersikap arif. Proses Pemilu dan PSU bukan tanpa riak, tentu, tapi yang mencolok bukanlah kericuhan, melainkan ketenangan.
Ketua DPRK Sabang Magdalaina turut mengawal jalannya proses demokrasi ini, dirinya juga menyampaikan rasa terima kasih yang tulus dari relung hatinya.
“Alhamdulillah, Pemilu 2024 dan PSU berjalan lancar, aman, dan damai,” katanya, Senin (7/4) dengan wajah yang menyiratkan harapan.
Ini bukan sekadar pernyataan, tapi sebuah kesaksian. Di kota kecil ini, demokrasi tidak lahir dari kekerasan suara, tapi dari keteguhan hati untuk tidak terpecah oleh perbedaan.
Momentum Pemilu tahun ini memang berdekatan dengan Hari Raya Idulfitri, suatu pertemuan waktu yang mengandung makna mendalam. Di satu sisi, rakyat diminta menentukan arah politik bangsa. Di sisi lain, mereka diajak merayakan kemenangan spiritual.
Dari bilik suara menuju rumah-rumah ibadah, Sabang menyatukan keduanya. Warga saling bersalaman setelah salat Ied, meski sebelumnya berbeda pilihan politik. Tak ada wajah yang masam.
Tak ada lengan yang enggan terulur. Hanya pelukan, senyum, dan harapan yang mengambang di udara.
“Berbeda pilihan itu hak, tapi menjaga perdamaian dan persatuan adalah kewajiban kita semua,” ujar Magdalaina lagi, seolah merangkum semangat yang meliputi kota ini.
PSU, yang dilakukan di (TPS) 02, Jurong Cot Klah, Gampong Paya Seunara, Kecamatan Sukamakmue, Kota Sabang, Sabtu (5/4) karena adanya dinamika teknis dan administratif, sempat mengundang perhatian.
Namun justru di sinilah masyarakat Sabang menunjukkan kelasnya. Tidak ada keributan besar, tidak ada fitnah berseliweran.
Yang ada hanya kehadiran warga yang kembali datang ke TPS dengan sabar, dengan niat menjaga marwah demokrasi.
Di tengah rintik hujan gerimis dan jalanan yang menanjak, para pemuda berdiri membantu warga lansia mencapai tempat pemungutan suara.
Aparat keamanan berjaga, tapi lebih tampak seperti pelindung keluarga besar, bukan penjaga yang menakutkan.
Penyelenggara dan pengawas pemilu, yang dalam banyak kasus di tempat lain kerap menjadi sasaran caci, justru di Sabang mendapat pujian.
“Saya sangat mengapresiasi seluruh pihak, KPU, Bawaslu, aparat keamanan, tokoh masyarakat, pemuda. Mereka semua berperan besar dalam menciptakan suasana yang kondusif,” tutur Magdalaina penuh penghargaan.
Harapan Baru di Ujung Barat
Bagi Sabang, demokrasi bukan sekadar prosedur. Ia adalah cara merawat kebersamaan. Dalam tamsil kehidupan masyarakatnya, musyawarah dan gotong royong sudah sejak lama menjadi akar kuat.
Warga Sabang tahu suara mereka, meski satu, punya makna. Mereka sadar setiap tinta yang membekas di jari bukan sekadar tanda partisipasi, tapi simbol tanggung jawab.
Mereka tidak memperlakukan pemilu sebagai ajang saling menyingkirkan, melainkan sebagai kesempatan untuk membangun jembatan meski dari sisi yang berbeda.
“Sabang adalah wajah Indonesia di ujung barat. Mari kita jaga kota ini dengan semangat gotong royong, toleransi, dan cinta kepada tanah air,” ucap Magdalaina, dengan pandangan yang melampaui horizon laut.
Dari mata tokoh-tokoh masyarakat, dari raut anak-anak muda yang ikut menjaga ketertiban, dari bisik doa para ibu seusai salat, lahir satu harapan bersama: agar Sabang tidak hanya aman untuk hari ini, tapi juga sejahtera untuk esok hari.
Momentum kemenangan spiritual di Idulfitri berpadu dengan kemenangan moral dalam demokrasi. Sabang menunjukkan bahwa politik tidak harus menjadi medan peperangan, melainkan bisa menjadi ladang menanam nilai: kasih.
Kini, lembar suara telah disimpan, hasil penghitungan telah diumumkan. Tapi pekerjaan belum selesai. Yang paling berat justru dimulai sekarang: menjaga semangat persatuan agar tidak menguap bersama euforia kemenangan.
“Mari jadikan kemenangan ini bukan sekadar euforia sesaat. Tapi sebagai titik tolak untuk menjadi pribadi dan masyarakat yang lebih baik. Lebih religius, lebih bersatu, dan lebih peduli terhadap sesama,” tutup Magdalaina dalam satu kesempatan.
Sabang hari ini adalah cermin dari Indonesia yang kita dambakan. Ia tidak sempurna, tapi berusaha. Ia pernah berselisih, tapi tidak berkeras kepala.
Ia punya banyak wajah, tapi semua tersenyum dalam satu bahasa: damai.
Dan di tengah kota yang menatap samudra, rakyat Sabang menulis sejarah kecil tentang demokrasi. Sebuah sejarah yang tak tercatat di buku besar negara, tapi hidup dalam hati mereka yang menjaganya.