Banda Aceh — Sya’ban merupakan bulan penting bagi umat Islam yang sering dilupakan saat ini. Padahal pada bulan tersebut Rasulullah sering mengamalkan puasa sunat yang jumlah harinya melebihi bulan-bulan lain selain bulan Ramadan.
“Di bulan Sya’ban, malaikat mengangkat amal saleh manusia untuk disampaikan kepada Allah SWT,” ujar Wakil Ketua Dewan Dakwah Aceh Dr Abizal Muhammad Yati Lc MA saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak Jeulingke, Banda Aceh, Rabu (24/3) malam.
Terkait hal ini, Akademisi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar Raniry ini mengutip hadits Rasulullah yang diriwayatkan Ibnu Majjah tentang kisah Usamah bin Zaid RA, cucu angkat Rasulullah, yang datang menemui Rasulullah.
Pemuda yang mendapat julukan Hibbu Rasulullah (orang yang dicintai Rasulullah) itu bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, kenapa aku tidak pernah melihat Anda berpuasa sunah dalam satu bulan tertentu yang lebih banyak dari bulan Sya’ban?”
Usamah mempertanyakan hal tersebut setelah dia mengetahui bahwa Rasulullah berpuasa sunat secara diam-diam pada bulan Sya’ban.
Menjawab pertanyaan tersebut, Rasulullah kemudian bersabda, “Ia adalah bulan di saat manusia banyak yang lalai (dari beramal shalih), antara Rajab dan Ramadhan. Ia adalah bulan di saat amal-amal dibawa naik kepada Allah Rabb semesta alam, maka aku senang apabila amal-amalku diangkat kepada Allah saat aku mengerjakan puasa sunnah.”
Untuk itulah, puasa sunat di bulan Sya’ban sangat dianjurkan kepada ummat Muslim.
Sayangnya keutamaan berpuasa di bulan ini sering dilupakan lantaran berada di antara dua bulan yang istimewa, yaitu Rajab dan Ramadan. Banyak muslim fokus mempersiapkan diri menuju bulan Ramadan dengan penuh suka cita.
Hal paling mengkhawatirkan sekarang adalah menyambut Ramadan dengan melakukan kenduri- kenduri secara bermegah-megahan, seperti tradisi “makan-makan” atau “Rabu Abeh”.
Hal lain adalah menyambut Ramadan di bulan Sya’ban dengan menghabiskan waktu akhir pekan ke pantai-pantai atau tempat wisata.
“Makan-makan tidak dilarang, selama itu tidak untuk bermegah-megahan atau yang dikhawatirkan tujuan menghabiskan hari di tempat-tempat liburan dapat menjurus ke maksiat,” katanya.
Dia berharap para ulama di Aceh dapat mengedukasi masyarakat tentang hal-hal seperti ini. Alumnus Sudan tersebut kemudian mengutip sebuah ayat yang menyebutkan, “Barang siapa yang bergembira menyambut bulan Ramadan, maka diharamkan jasadnya daripada api neraka.”
Menurut Abizal, makna bergembira dalam ayat tersebut bukan dengan makan-makan atau bersuka cita bersama keluarga ke tempat-tempat liburan seperti yang dilakukan selama ini.
“Itu gembira menyambut Ramadan bukan dalam artian euforia, bermegah-megahan dalam urusan keduniawian, tetapi menjurus kepada berbahagia dalam hal keimanan, kesiapan seseorang, tubuh seseorang, sehingga dia siap melaksanakan salat tarawih di malam hari dan berpuasa di esoknya,” pungkas Abizal. (IA)