Berpotensi Permalukan Aceh, Mahasiswa Demo di DPRA Tolak Draf Revisi UUPA

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Alamp Aksi Aceh melakukan aksi menolak draf revisi UUPA di depan Gedung DPRA, Selasa (4/4)

BANDA ACEH— Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (Alamp Aksi) Aceh melakukan aksi di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Selasa (4/4/2023).

Para demonstran menolak draf revisi UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) karena dinilai selama ini sangat tertutup kepada masyarakat Aceh, bahkan revisi UUPA tersebut berpeluang mempermalukan Aceh di tataran nasional karena pasal-pasal usulan perubahan dari DPRA yang tidak rasional.

Sungguh miris rasanya ketika alokasi anggaran yang khabarnya mencapai Rp 8 miliar diplotkan untuk sosialisasi revisi UUPA, namun sosialisasinya seperti asal ada dan cenderung tertutup untuk DPRK dan kelompok tertentu saja.

Dalam orasinya, koordinator aksi Musda Yusuf mengatakan, sungguh tidak logis pada pasal 2 ayat (3) draf revisi UUPA, kecamatan justru dihapus dari pembagian wilayah Aceh, sementara anehnya pada pasal 100 ayat (2) tentang perangkat daerah justru kembali disebut ada kecamatan.

Lucunya lagi, pada pasal 112 justru disebutkan camat dipilih secara demokratis, jadi aneh ada pemilu untuk memilih camat.

“Pada pasal 3 revisi UUPA disebutkan batas Aceh sesuai peta 1 Juli 1956, sementara petanya sampai detik ini bahkan di berbagai institusi tak ada referensinya. Ini namanya seperti mengarang aturan tanpa landasan konkrit,” sebutnya.

Yusuf dalam orasinya juga menambahkan, pada pasal 98 ayat (3) dalam draf revisi UUPA justru imuem mukim, imuem chik, keuchik, tuha peut, tuha lapan, imuem meunasah juga dihapuskan dadi struktur lembaga adat.

“Jika revisi UUPA hanya untuk mengobrak abrik sesuatu yang sudah berjalan dalam struktur pemerintahan sesuai dengan keinginan segelintir orang, ini seperti membuat UUPA semakin rancu. Kami mengecam rencana DPRA menghilangkan fungsi pemerintah adat seperti mukim, tuha peut, imuem mukim, tuha lapan, dan sebagainya. Jangan otak atik lembaga adat hanya untuk nafsu merevisi UUPA,” bebernya.

Lucunya lagi, pada pasal 80 draf itu disebutkan bahwa partai lokal bisa mengajukan anggota DPR RI bahkan mengusulkan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI. Lalu apakah masih disebut parlok kalau cakupannya hingga nasional.

“Sungguh jika pasal-pasal perubahan yang janggal-janggal ini diusul ke pusat malah bakal menjadi lulucon dan berpeluang mempermalukan Aceh secara nasional, apakah DPRA tak memikirkan hal itu?,” katanya.

Masih kata Yusuf, revisi UUPA ini seakan hanya untuk bicara simbol-simbol hingga membuat kekuasaan DPRA semakin absolut.

“Pada draf revisi UUPA juga terlihat kewenangan DPRA semakin berlebihan, misalkan pasal 8 ayat (1) dan (2) kemudian pasal 24 ayat (2). Bahkan pasal pasal 25 ayat (1) huruf (f) disebutkan DPRA /DPRK dalam menggunakan APBK maupun APBA tak perlu lagi mengacu kepada perundang-undangan tetapi cukup diadministrasikan oleh Sekwan, sungguh sangat rawan terjadinya potensi korupsi nantinya jika itu terjadi,” jelasnya.

Menurutnya, sejauh ini UUPA sudah lumayan kuat untuk Aceh, tinggal lagi bagaimana turunannya direalisasikan maksimal.

Pendemo juga mempertanyakan siapa yang akan bertanggung jawab jika dalam revisi UUPA justru nanti pasal-pasal UUPA yang sudah ada jadi hilang.

“Ayo berpikir logis jangan berangan-angan yang aneh-aneh, jumlah DPR RI dari Aceh itu hanya 13 orang dari 580 orang total kursi DPR RI. Apa cukup untuk mempertahankan UUPA? Merubah UU itu tidak mudah, jangan sampai kekhususan yang sudah ada justru hilang karena ingin kewenangan DPRA ditambah. Jangan sampai gegara melihat hujan mau turun air di tempayan dibuang, jangan karena ambisi punya kekuasaan dan kewenangan sangat besar, DPRA justru mengorbankan kekhususan Aceh yang sudah diberikan. Ingat!! UUPA itu milik masyarakat Aceh bukan sesuai ingin sekelompok orang saja,” ucapnya.

Mengenai dana Otonomi Khusus (Otsus), Alamp Aksi menyarankan DPRA dan Pemerintah Aceh belajar banyak dari Papua yang mampu memperpanjang dana otsusnya tanpa merevisi UU kekhususannya.

“Kemarin banyak DPRA yang kebelet pergi ke Papua waktu PON, bahkan foto selfie pertemuan dengan tokoh-tokoh Papua, cuma koq gak sekalian belajar dari keberhasilan Papua memperjuangkan perpanjangan dana otsus? Papua berhasil merasionalkan pusat hingga dikeluarkan inpres sehingga dana otsusnya ditambah dan diperpanjang hingga 2041, Aceh sibuk ngotot dengan simbol-simbol dan memperbesar kewenangan dewan, sungguh miris,” ujarnya.

Melihat kondisi Aceh saat ini, pihak nya secara tegas menolak draft revisi UUPA demi menyelamatkan marwah kekhususan Aceh yang sudah ada.

“Jika DPRA tetap ngotot harus direvisi, ayo uji publik secara terbuka draft rancangan revisi UUPA itu, jangan sampai memalukan dan merugikan Aceh dikemudian hari. Perlu diingat bahwa UUPA itu milik seluruh rakyat Aceh bukan milik DPRA atau sekelompok orang saja. Untuk itu, kami mendesak DPRA untuk mengkaji kembali terkait revisi UUPA agar tidak merugikan Aceh,” tegasnya. (IA)

Tutup