Infoaceh.net, BANDA ACEH — Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh untuk serius mengusut dugaan korupsi di Badan Reintegrasi Aceh (BRA) hingga tuntas dan menyeluruh.
“Pengusutan dan pengungkapan kasus jangan hanya berhenti pada aktor lapangan saja, aktor-aktor yang berada di belakang meja yang merancang perampokan uang publik Aceh juga harus dipidana jika terbukti melakukan korupsi, hal itu penting dilakukan untuk memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban konflik Aceh, hal ini dikarenakan pada tahap perencanaan, program ini diperuntukkan untuk penguatan kapasitas/pemberdayaan ekonomi eks kombatan GAM dan korban konflik Aceh. Akan tetapi kondisi di lapangan berbeda, paket pekerjaan ini malah kemudian dikorupsi dan korban konflik di Aceh timur tidak tahu-menahu tentang bantuan ini,” ujar
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, Selasa (7/5).
Berdasarkan penelusuran dan pengumpulan informasi MaTA, ada program penyaluran bantuan budidaya ikan kakap dan pakan rucah oleh BRA untuk 9 kelompok masyarakat di Kecamatan Nurussalam dan Darul Aman, Aceh Timur dengan anggaran sebesar Rp 15.713.864.890 pada perubahan APBA Tahun 2023.
Program ini sifatnya sebagai Pokok Pikiran (POKIR) Anggota DPRA. BRA dibentuk dengan tujuan untuk pemberdayaan masyarakat korban konflik, mantan kombatan dan tapol/napol sesuai dengan tugas dan wewenangnya.
“BRA bukan tempat bancakan anggaran untuk politisasi atau kepentingan elit sebagaimana yang terjadi saat ini. Maka perlu diberi atensi sehingga kelembagaan menjadi tegak lurus demi keadilan para korban, mantan kombantan dan tapol/napol masa yang akan datang,” sebut Alfian.
Berdasarkan temuan dan analisa awal MaTA, nama masing-masing kelompok sengaja didesain sedemikian rupa untuk memuluskan pencairan anggaran, secara adminitrasi kemungkinan kelompok ini ada, tapi secara fakta lapangan tidak ada, dan ini menjadi salah satu modus yang telah terjadi.
Sehingga pemangku kepentingan (aparatur) di gampong-gampong sama sekali tidak mengetahui atas keberadaan nama kelompok dan anggaran bantuan tersebut.
Padahal saat ini tiap bantuan ke gampong perlu ada koordinasi dengan pihak yang ada di gampong, sehingga kebijakan anggaran yang bersumber dari APBA dan APBK tidak tumpang tindih dengan anggaran dana desa.
Akan tetapi hal tersebut tidak terjadi demikian. Sehingga patut diduga bantuan tersebut fiktif dan sangat potensi di mafaatkan oleh pihak yang tidak bertangung jawab, dan juga potensi anggaran tersebut menjadi politisasi untuk kepentingan Pemilu 2024 yang baru saja berlangsung.
Ada 9 nama kelompok penerima bantuan BRA di sejumlah krlecamatan di Kabupaten Aceh Timur
Kelompok Sobat Nelayan di Kecamatan Darul Aman Rp 1,750 miliar, Makmur Beusare di Kecamatan Darul Aman Rp 1,750 miliar, Cabang Utama di Darul Aman Rp 1,750 miliar, Bintang Timur di Kecamatan Nurussalam Rp 2 miliar.
Jasa Rakan Mandum di Kecamatan Nurussalam Rp 1,5 miliar, Doa Ibu di Nurussalam Rp 1,750 miliar, Ka Kumatsu di Nurussalam Rp 1,750 miliar, Gudang Meuh di Nurussalam Rp 1,750 miliar dan kelompok Raja Meujulang di Kecamatan Nurussalam Rp 1,750 miliar.
MaTA mendesak secara tegas kepada Kejaksaan Negeri Aceh Timur yang saat ini sedang melakukan penyelidikan dan juga di back-up oleh Kejati Aceh untuk dapat mengusut kejahatan yang telah terjadi secara tuntas dan utuh.
“Kami tidak berharap kasus ini hanya dikorbankan oknum di level operasional saja, akan tetapi menjadi harapan publik aktor pelaku kejahatan luar biasa ini juga harus tersentuh hukum.
Kasus ini tidak hanya dilihat secara kerugian keuangan semata akan tetapi juga kerugian sosial yang menjadi lebih besar, dimana seharusnya para korban konflik, mantan kombatan dan tapol/napol di tahun 2023 sudah mareka terima dana konpensasi akibat perang, ini malah dikorupsi,” tegas Alfian.
Jadi perhitungan kerugian secara sosial juga menjadi penting bagi penyidik dan hakim tipikor dalam menilai nantinya.
Kemudian penyidik juga perlu menelusuri sejak penganggaran atas program dimaksud sehingga publik juga tahu, program ini memang sejak di penganggaran sudah bermasalah terutama secara adminitrasi.
Penyelidikan dari hulu sampai ke hilir menjadi tuntutan atas kasus tersebut, siapa saja yang terlibat maka dapat ditindak secara tegas dan publik memberi atensi dan dukungan kepada Kejati Aceh dalam penanganan kasus secara utuh.
“Kami mendorong perlu ada segera pembaruan sistem dan manajeman di BRA, selama ini BRA mengurus dana pokir dewan yang ditempatkan pada badan tersebut dan ini menjadi masalah saban tahun.
Seharunya Pemerintah Aceh perlu memikirkan dan melahirkan kebijakan secara penggangaran secara khusus sehingga tidak dikendalikan oleh pemilik pokir dan ini juga berdampak pada kinerja BRA.
Jadi BRA perlu dievaluasi secara menyeluruh, kalau ada oknum bermental korup maka wajib dibersihkan. Perlu orang-orang yang memiliki integritas dan memiliki moral yang mnegelola BRA sehingga kinerja kedepan menjunjung tinggi rasa keadilan bagi korban dan alokasi anggaran khusus menjadi bagian terpenting untuk mempercepat penyelesaian dan hak hak para korban konflik, mantan kombantan dan tapol/napol,” kata Alfian.
“Pengadaan paket pekerjaan ini fiktif dan penuh dengan kebohongan, pekerjaan penyaluran bantuan untuk 9 kelompok masyarakat di Kecamatan Nurussalam dan Darul Aman, Kabupaten Aceh Timur merupakan manipulasi untuk memperoleh pundi-pundi rupiah oleh pihak tertentu dengan memanfaatkan korban konflik.
Manipulasi dan rekayasa ini juga melibatkan aktor di belakang meja dan patut diduga aliran dananya bisa mengalir ke oknum politisi yang dipergunakan untuk kepentingan pemilu legislatif pada Februari lalu, hal ini dikarenakan pengadaan paket pekerjaan ini berasal dari dana pokir DPRA yang kemudian dititipkan pada BRA. (MUS)