KPK Sebut 95 Persen Pemilih Coblos Calon di Pemilu Berdasarkan Uang
JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan masih banyak pemilih yang menjatuhkan pilihan di pemilu berdasarkan uang.
Berdasarkan kajian KPK, 95% pemilih akan menjatuhkan pilihan berdasarkan uang.
“Berdasarkan data kajian KPK, 95% pemilih menjatuhkan pilihan berdasarkan uang,” tulis KPK di akun Instagram, dilihat Ahad (23/7/2023).
KPK juga menyebut 72% pemilih menerima politik uang. Sementara 46,7% pemilih menganggap politik uang adalah hal yang wajar.
Menurut KPK politik uang masih menjadi salah satu akar terjadinya korupsi di sistem politik Indonesia.
Oleh karena itu, untuk mengedukasi masyarakat akan bahaya politik uang, KPK meluncurkan kampanye “Hajar Serangan Fajar”.
“KPK mengajak seluruh masyarakat untuk menolak, menghindari, dan membentengi diri dari godaan politik uang dalam kontestasi Pemilu,” tulisnya lagi.
Adapun istilah serangan fajar adalah salah satu bentuk politik uang yang pemberiannya dilakukan pada pagi hari menjelang waktu pencoblosan. Praktik politik uang seperti serangan fajar bisa menyebabkan dampak negatif, seperti:
– Janji politik belum terealisasi
– Pemberi serangan fajar fokus mencari keuntungan pribadi ketika menjabat
– Berpotensi terjadi korupsi untuk mengembalikan modal/uang kampanye
Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) mengungkap hal tak lazim dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia.
Dari hasil kajian yang dilakukan di tahun 2018, sebanyak 95 persen masyarakat menjatuhkan pilihan kepada calon karena melihat dari uangnya.
Sementara 72,4 persen lewat media sosial dan 69,6 persen karena kepopularitasan sang calon.
Hal itu disampaikan Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana saat merilis kampanye “Hajar Serangan Fajar” dalam menghadapi pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024.
“Ternyata masyarakat masih melihat bahwa 95 persen masyarakat itu melihat, kalau milih orang itu yang banyak duitnya, yang banyak bagi-bagi duitnya, nah ini adalah sesuatu yang kurang sehat sebetulnya,” kata Wawan, dilihat dari tayangan YouTube KPK RI, Sabtu (15/7/2023).
Wawan menerangkan, kajian tahun 2018 ini bertepatan dengan momentum pemilihan kepala daerah (pilkada) saat itu.
“Hasil kajian KPK juga mengatakan bahwa pada tahun 2018 yang lalu KPK melakukan kajian bagaimana masyarakat melihat seseorang menjadi apakah itu calon legislatif dan di pilkada,” terangnya.
“Ini adalah salah satu yang terjadi di masyarakat yang kita potret, walaupun memang dari modal sosial, lalu popularitas paslon itu juga menjadi satu hal yang membuat masyarakat memilih. Tapi kalau kita lihat itu angkanya itu 95 persen dan itu sebenarnya tidak lazim,” imbuhnya.
Hasil kajian itu dikuatkan kembali oleh kajian dari Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), dimana praktik politik uang telah membudaya dan mengkonstruksi proses demokrasi.
Akibatnya, biaya politik membengkak, dan menjadikannya celah rawan bagi para calon peserta pemilu untuk bermain kotor dengan mencari sumber dana yang tidak baik.
Kemudian hasil survei LIPI terhadap Pemilu tahun 2019 mencatat bahwa 47,4 persen masyarakat membenarkan adanya politik uang dan 46,7 persen di antaranya menyebut bahwa politik uang adalah hal wajar.
Fakta ini sangat ironis, sebab jika sosok yang dipilih tidak berintegritas maka bisa dipastikan kebijakan yang akan diambil kelak akan jauh dari harapan masyarakat.
Sementara hasil kajian KPK terkait politik uang menjelaskan bahwa sebanyak 72 persen pemilih menerima politik uang.
Setelah dibedah sebanyak 82 persen penerimanya adalah perempuan dengan rentang usia di atas 35 tahun. (IA)