BANDA ACEH — Majelis Pengurus Wilayah (MPW) Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Aceh, menyampaikan 10 kriteria yang layak dipertimbangkan untuk dipilih sebagai Calon Gubernur Aceh dalam Pilkada Aceh 2024 pada November mendatang.
5 kriteria versi ajaran Islam, 4 kriteria versi adat budaya Aceh dan 1 kriteria politik praktis adanya dukungan partai politik yang memenuhi syarat Parliamentary Threshold atau syarat melalui jalur independen.
Hal itu disampaikan oleh Ketua MPW ICMI Aceh Dr Taqwaddin Husin pada Rabu, 24 April 2024 di Kantor MPW ICMI Aceh, Kompleks Baperis Banda Aceh.
Kriteria pertama sebagai calon Gubernur Aceh yang disampaikan oleh MPW ICMI Aceh adalah jujur. Ini harus menjadi kriteria utama. Jujur terhadap masyarakat. Memenuhi janji yang telah diucapkan atau disuratkan secara tertulis dalam berbagai kebijakan.
Pemimpin jujur akan selalu melaksanakan apa saja yang diucapkan atau dijanjikan. Kejujuran hal penting sekali dalam menjalankan roda pemerintahan. Tanpa kejujuran pemimpin, pemerintahan akan berantakan dan rakyat akan makin jauh dari kesejahteraan.
Untuk mendapatkan calon gubernur yang jujur diperlukan penelusuran rekam jejak selama ini dalam kapasitas sebagai apapun. Jangan memilih pemimpin seperti membeli ayam dalam karung tertutup. Tidak jelas ayam itu sehat atau ayam sawan, burek ataupun hitam.
Kriteria kedua adalah orang yang amanah atau orang yang dapat dipercaya. Jangan sekali-kali kita memilih pemimpin yang tidak dapat dipercaya, tidak amanah dan curang. Apalagi yang pernah terlibat dalam kasus pidana korupsi.
Hal ini penting dipertimbangkan karena Gubernur Aceh akan menentukan arah perjalanan pembangunan daerah. Gubernur ini akan menguasai dan mengelola anggaran yang cukup besar untuk kemaslahatan rakyat. Maka, jika pemimpin tidak amanah akibatnya akan menimbulkan kemiskinan rakyat, kualitas pendidikan dan kesehatan yang rendah, UMKM tidak berkembang, dan banyak kemerosotan lainnya karena dana besar yang seharusnya diperuntukkan bagi kemaslahatan rakyat, tapi diselewengkan untuk kepentingan kroni-kroninya.
Semua itu bisa terjadi karena tidak amanahnya para pejabat. Tetapi, jika gubernur yang terpilih orang yang amanah dan dapat dipercaya, maka keserakahan pejabat di bawahnya dapat dicegah dan dihentikan.
Kriteria ketiga gubernur yang ideal untuk Aceh adalah orang yang cerdas dan berkualitas (fathanah). Cerdas ini maksudnya tidak mesti bergelar profesor atau doktor. Tetapi jangan pula, SMA-nya pun tidak jelas. Minimal sarjana saja cukup.
Mengingat warga masyarakat dan penduduk Aceh yang plural, yang terdiri dari banyak suku, maka diperlukan gubernur yang cerdas dan berwawasan luas.
“Kita perlu gubernur yang tangguh dan berani yang dapat mengayomi bukan hanya suku Aceh, tetapi juga memahami dan mengayomi pula suku Gayo, Alas, Jamee, Tamiang, Kluet dan lain sebagainya.
Tidak itu saja, kita butuh gubernur yang cerdas berkualitas serta harmoni dengan pemimpin dan elit-elit nasional dan berani memperjuangkan hak-hak pembangunan untuk kepentingan daerah Aceh. Hal ini penting dalam rangka menjemput APBN untuk mempercepat pembangunan Aceh yang tertinggal dari banyak provinsi lain di Indonesia,” terang Taqwaddin.
Menurutnya, Aceh harus berupaya keras keluar dari daerah termiskin, stunting tinggi, pengangguran terbanyak, pertumbuhan ekonomi rendah, pertumbuhan investasi yang minim, UMKM yang kurang tumbuh berkembang, dan lain-lain.
Banyak hal yang harus dilakukan secara cepat, tetap, taktis, dan strategis oleh Gubernur Aceh. Karenanya, diperlukan seorang gubernur yang cerdas berkualitas dan luar biasa.
Kriteria keempat calon Gubernur Aceh adalah orang yang bisa menyampaikan ide gagasan dan buah pikirannya secara sederhana dan sistematis. Dalam versi Islam hal ini dikenal dengan tabligh.
Aceh merindukan sosok Ibrahim Hasan yang cerdas berkualitas dan dapat menyampaikan gagasannya secara sederhana dengan bahasa yang mudah dipahami rakyat. Tidak itu saja, Almarhum Ibrahim Hasan juga memiliki jaringan luas dengan elit nasional. Sehingga kemajuan pembangunan begitu terasa saat beliau memimpin Aceh.
Kriteria kelima yang diperlukan untuk menjadi Gubernur Aceh adalah sifat tawadhu, tidak sombong dan rendah hati. Tidak arogan dan tidak mentang-mentang. Budi bahasanya lembut dan perangainya menyejukkan.
“Kita perlu gubernur yang mendengarkan aspirasi rakyat. Kita butuh gubernur yang peduli dan memberi solusi cepat terhadap kesulitan rakyat. Kita merindukan gubernur gaul dan komunikasinya bagus dengan semua kalangan,” ungkap Taqwaddin.
Selain lima kriteria ideal Calon Gubenur Aceh berdasarkan ajaran Islam, ICMI Aceh juga menambahkan 4 kriteria pemimpin berdasarkan adat budaya Aceh, yaitu yang Tuha, Tuho, Teupeu dan Teupat.
Tuha dimaksudkan adalah dewasa usia dan cara berpikirnya. Hal ini penting karena kematangan usia atau kedewasaan diperlukan untuk mampu melahirkan kebijakan publik yang arif bijaksana dan bermanfaat bagi khalayak ramai, bukan kebijakan yang hanya menguntungkan kroninya saja.
Selain Tuha, dalam budaya Aceh diperlukan pula pemimpin yang Tuho. Maksudnya yang tahu apa dan dimana akar permasalahan yang terjadi dalam masyarakatnya. Sehingga, jika Aceh dipimpim orang luar maka dia hana di Tuho Saho, dia tidak tahu esensi problema yang sedang terjadi dalam masyarakat Aceh.
Akibatnya terapi dan solusi yang kebijakan yang ditempuh menjadi tidak nyambung dan bahkan kontra produktif dalam menyelesaikan permasalahan.
Hal lain yang diperlukan untuk menjadi pemimpin di Aceh adalah Teupeu. Ini maksudnya pemimpin harus mengetahui segala hal yang terjadi dalam masyarakat dan pemerintahannya.
“Kan aneh misalnya, pupuk sudah langka, petani sudah kewalahan karena sedang musim tanam, tapi gubernur tidak tahu masalah ini. Begitu juga, misalnya, gubernur tidak tahu bahwa harga-harga kebutuhan dapur sudah meroket. Harga bawang dan cabe sudah meninggi sehingga ibu-ibu kewalahan. Tetapi gubernur malah tidak tahu. Tidak boleh seperti ini. Makanya salah satu kriteria menjadi pemimpin di Aceh harus teupeu dan peduli. Gubernur Aceh harus memiliki banyak mata untuk melihat dan banyak telinga untuk mendengarkan keluhan rakyat,” sebutnya.
Kriteria lainnya adalah teupat. Ini sama artinya dengan jujur, amanah, dan dapat dipercaya. Orang yang teupat akan selalu berkata benar, tidak bohong dan tak akan ingkar janji.
“Kita akui tidak mudah mencari orang teupat saat ini. Namun demikian, kita harus berupaya keras menemukan dan memilihnya,” jelasnya.
Apabila kesembilan kriteria di atas terpenuhi, baru ditambah dengan kriteria kesepuluh, yaitu kriteria politik praktis. Kriteria politik praktis ini meliputi antara lain adanya dukungan partai politik yang memenuhi syarat parlemen atau syarat dukungan calon independen.
Calon gubernur yang diusung memiliki popularitas yaitu dikenal luas oleh konstituen serta adanya potensi elektabilitas memadai, yaitu akan dipilih oleh warga masyarakat yang berhak memilih.
“Perlu saya sampaikan, tingginya popularitas tidak serta merta menujukkan tingginya elektabilitas. Pernah ada seorang rektor yang populer dari universitas terbesar di daerah kita, namun saat maju sebagai calon gubernur elektabilitasnya rendah sekali.
Untuk bisa mencapai elektabilitas yang tinggi tentu diperlukan mesin politik yang running well atau berjalan lancar yang disertai dukungan personalia dan anggaran memadai.
Harus diakui bahwa cost politik akhir-akhir ini memang sangat tinggi, sehingga diperlukan kolaborasi berbagai partai untuk menalanginya,” pungkas Taqwaddin. (IA)