Ketua DPRA Jangan Ngawur Mau Kembalikan Bank Konvensional ke Aceh
Banda Aceh — Keinginan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Saiful Bahri atau Pon Yaya untuk mengembalikan bank konvensional beroperasi lagi di Aceh, dinilai sebagai usulan yang ngawur dan tidak menghargai kekhususan dan kekhususan Aceh.
Penilaian itu disampaikan oleh Advokat dan Praktisi Hukum di Aceh, Nourman Hidayat SH menanggapi usulan revisi Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang diwacanakan oleh Ketua DPRA, sebagai buntut dari terganggunya layanan Bank Syariah Indonesia (BSI) yang error selama beberapa hari sejak Senin, 8 Mei 2023.
“Saya menilai Ketua DPRA mulai ngawur dengan keinginannya mau mengembalikan bank konvensional beroperasi lagi di Aceh melalui revisi Qanun LKS yang sedang berjalan di Aceh,” ujar Advokat Nourman Hidayat SH, ketika dimintai pendapatnya, Jum’at (12/5/2023).
Menurut Nourman, setiap pengembalian bank konvensional untuk beroperasi lagi di Aceh harus ditolak tegas.
“Mengembalikan bank konvensional akan sama statusnya dengan menghapus bendera bintang bulan dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau UUPA
Keistimewaan Aceh, baik itu bendera maupun syariat Islam di bidang ekonomi syariah akan digerogoti satu persatu,” terangnya.
Nourman menduga, terganggunya layanan BSI dalam beberapa hari ini bagian dari propaganda tertentu sehingga wajah ekonomi syariah, khususnya di Aceh menjadi ikut tersalah
“Jadi menyalahkan Qanun LKS karena BSI error adalah salah alamat. Arahkan telunjuk anda kepada Erick Thohir Tohir dan Kementerian BUMN, kepada BSI dan OJK dan juga Bank Indonesia,” sebutnya.
Nourman menyebutkan, ada penumpang gelap dalam usulan revisi Qanun LKS yang terus diwacanakan. Didasari oleh ketidak mengertian alur dan sebab akibat dari ruwetnya di BSI dan Kementerian BUMN lalu yang dikorbankan adalah Qanun LKS.
Saat ini seluruh Indonesia mengecam bahkan mencaci BSI. Jangan lupa BSI itu BUMN milik pemerintah. Dan BUMN di bawah Erick Thohir Tohir yang banyak bermasalah.
“Ketua DPRA harus memahami dulu apa yang terjadi dan tidak serta merta secara tendensius meminta kembali bank konvensional karena error BSI seolah penyebabnya Qanun LKS,” katanya.
Apalagi menghidupkan lagi bank konvensional. Ini mirip bahkan lebih parah lagi seperti menghidupkan prostitusi dengan alasan tidak semua orang di Aceh mampu menahan diri.
Terkait masalah layanan perbankan yang terjadi saat ini di Aceh, ada dua hal yang harus dilakukan oleh DPRA dan elemen masyarakat.
Pertama, menekan BSI agar jangan buat masalah lagi di Aceh, karena beberapa waktu lalu BSI juga bikin kisruh di Aceh berakibat ekonomi syariah di Aceh menjadi tersalahkan.
Kedua, gugat class action BSI, Kementerian BUMN, OJK dan Bank Indonesia sebagai pembina perbankan di Aceh.
“DPRA fasilitasi dan berikan kuasa kepada para penasehat hukum dan lakukan class action atau gugatan itu,” tegas Nourman.
Pemerintah Aceh menurut Qanun LKS juga ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan LKS.
“Pada kasus ini, LKS bernama Bank Syariah Indonesia sudah berulang kali merugikan nasabahnya di Aceh. Harusnya mendapat hukuman tegas dan mengganti kerugian nasabah. Jadi seharusnya yang disorot adalah BSI yang merugikan nasabah, bukan merevisi Qanun LKS,” pungkasnya. (IA)