Banda Aceh — Seringnya terjadi banjir, baik banjir bandang, banjir genangan, banjir rob (banjir air laut), maupun banjir lainnya merupakan indikasi adanya masalah dengan lingkungan hidup kita.
Terutama banjir yang diakibatkan oleh semakin lajunya kerusakan hutan (deforestasi), sehingga dengan bertambahnya degradasi hutan maka kemampuan hutan untuk menampung air hujan semakin melemah.
“Inilah yang menjadi sebab utama banjir genangan dan banjir bandang. Apalagi, jika saluran hilir dari daerah aliran sungai tidak berfungsi optimal, baik karena sedimennya yang mendangkalkan sungai maupun karena salurannya telah rusak,” ujar Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dr Taqwaddin Husin, Rabu (29/7).
Terkait peristiwa banjir, maka perlu ada upaya penanggulangan (mitigasi dan recovery) yang komprehensif mulai dari penanganan daerah hulu (hutan di dataran tinggi) hingga kondisi sungai dan riol-riol di hilir daerah pemukiman.
Penanganan penting lainnya yang perlu dievaluasi adalah terkait adanya kebijakan pemerintah yang kurang pro-lingkungan.
Selain itu, perlu juga dikaji sikap, tindakan dan perilaku warga masyarakat terkait dengan alam dan lingkungannya. Hal ini penting, karena merusak lingkungan esensinya akan merugikan diri sendiri.
Ketua Dewan Pakar Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) Provinsi Aceh ini menambahkan, semua faktor di atas berkontribusi signifikan yang mengakibatkan terjadinya banjir di desa-desa.
Bencana banjir ini dapat menimbulkan korban jiwa, ketidaknyamanan dan juga kerugian harta benda.
Dalam perspektif Ombudsman, sekalipun dalam kondisi bencana banjir, Taqwaddin menyarankan kepada pihak pemerintah daerah agar tetap melakukan pelayanan publik, terutama pelayanan publik yang besifat dasar.
Meliputi pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, pelayanan keamanan ketertiban, pelayanan infrastruktur, pelayanan sosial, dan pelayanan Administrasi Kependudukan (Adminduk).
Langkah taktis yang perlu segera dilakukan oleh pihak pemerintah adalah melakukan evakuasi warga guna memastikan keselamatan mereka.
Lalu, memenuhi kebutuhan dasar hayati mereka (korban bencana). Setelah kedua upaya ini selesai dilakukan, baru kemudian dilakukan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap infrastruktur yang mengalami kerusakan. (IA)