Oleh: Dr. H. Mizaj Iskandar Usman, Lc LLM*
Dari tujuh deret ayat dalam Surat Al-Fātiḥah, ayat keenam merupakan ayat pertama yang isinya doa. Ayat-ayat sebelumnya berisi pujian kepada Allah. Pola pujian doa ini kemudian dipakai oleh Nabi dalam setiap doanya.
Setiap doa Nabi pasti dimulai dengan pujian kemudian dilanjutkan dengan pemintaan kepada Allah. Jadi ucapan amin tidak dikhususkan untuk doa saja, tetapi juga sah diucapkan untuk pujian. Keabsaan ini ditunjukkan dalam praktik shalat saat selesai membaca keseluruhan al-Fātihah, kita disunnahkan melafalkan “amin.”
Ucapan “ihdinā ṣirāṭal mustaqīm” (tunjukilah kami kepada jalan yang lurus) menjadi doa terpenting dari sekian model redaksi doa yang muncul dalam al-Qur’an. Dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Ibn Katsīr menghitung sebanyak lima puluh kali kalimat “ihdinā ṣirāṭal mustaqīm” terulang dalam al-Qur’an.
Kata “ihdinā” merupakan kata imperatif (fi‘il amr, kata perintah) yang berasal dari kata hidāyah (petunjuk). Ahli tafsir memahami konteks perintah disini sebagai permintaan atau permohonan (al-du‘ā). Dalam hal ini, manusia memohon kepada Allah agar senantiasa dibanjiri dengan pancaran sinar hidayah Allah.
Dalam bahasa Arab, kata hidāyah merupakan kata kejadian (maṣdar) dari kata hudā. Dalam surat al-Baqarah ayat 2 dan 185, al-Qur’an memperkenalkan dirinya sebagai ḥudān lil muttaqīn (petunjuk bagi orang bertakwa) dan hudān linnās (petunjuk bagi manusia).
Kata hudān seakar kata dengan kata hadiyah. Hadiyah merupakan sesuatu yang dipersembahkan kepada pihak lain untuk menunjukkan rasa simpati yang memberikannya.
Hadiyah dikemas dengan baik, disampaikan dengan lemah lembut, serta tidak dipaksakan kepada yang ditawari hadiah.
Demikian juga petunjuk Allah, disampaikan kepada manusia dengan lemah lembut, dikemas dengan kemasan yang sangat indah dan tidak dipaksakan kepada siapa pun untuk menerimanya.
Dalam Surat Fuṣilat ayat 17 Allah berfirman, “Wa ammā tsamūdu fahadaināhum fāstahabbū al-‘Ama ‘alā al-hudā” (Adapun kaum Tsamud Kami berikan petunjuk kepada mereka, tetapi mereka lebih senang dalam kebutaan daripada menerima petunjuk Allah).
Dari sini dapat dipahami, untuk memperoleh petunjuk Allah, yang dibutuhkan hanya keinginan dari diri manusia.
Tanpa keinginan yang sungguh-sungguh, petunjuk Allah tidak akan menemukan momentumnya dalam diri manusia. Kesungguhan manusia dalam menjemput hidayah Allah dicerminkan dalam lafal “ihdinā ṣirāṭal mustaqīm”.
Saat Allah melihat kesungguhan manusia, hidayah Allah datang lebih cepat lagi dari pada kesungguhan manusia. Dalam sebuah hadits qudsi Allah bersabda, “Wa in taqarraba ilayya bisyibrin taqarrabtu ilaihi dzirā‘an” (Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta), “Wa in taqarraba ilayya dzirā‘an taqarrabtu ilaihi bā‘an (Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku sehasta, Aku pun mendekat kepadanya sedepa), “Wa in atānī yamsyī ataituhu harwalatan” (Jika seorang hamba mendatangi-Ku sambil berjalan, maka Aku mendatanginya sambil berlari).
Melalui surat al-Fātiḥah ayat 6, Allah juga menjarkan kolektivitas dalam berdoa (al-du‘ā al-jamā‘ī). Meskipun kita membaca al-Fātihah pelan, sendiri dan di dalam hati. Tetap bunyi bacaannya “ihdinā” (tunjukilah kami), bukan “ihdinī (tujukilah aku). Dalam ilmu tasawuf, format “doa yang diaminkan” merupakan cara yang paling mujarrab agar doa kita dikabulkan Allah.
Dikisahkan dalam surat al-Baqarah ayat 126-129, setiap kali Ibrahim berdoa, Ismail datang mengaminkan doa ayahnya, Ibrahim. Dalam hadits juga terdapat cukup banyak riwayat yang menceritakan doa Nabi yang diaminkan Jibril dan juga sebaliknya doa Jibril yang diaminkan Nabi.
Selanjutnya, objek yang diminta pada kata “ihdinā” adalah jalan yang lurus (ṣirāṭal mustaqīm). Permintaan semacam ini sangat lah alamiah jika ditinjau dari kecenderungan manusia yang senantiasa menyukai kebaikan dan kebenaran.
Dalam hadits kecenderungan ini disebut ḥanīf. Bahkan menurut sebuah hadits qudsi, Allah menciptakan manusia semuanya dengan kencederungan ini (khalaqtu ‘ibādī ḥunafā’a kullahum). Tetapi dinamika kehidupan membuat manusia sering melupakan bakat ḥanīf pada dirinya.
Dalam hadits qudsi di atas, juga dijelaskan sebab tergelincirnya manusia dari jalan lurus itu adalah “Wa innahum atathum al-syayāṭīna fājtālathum ‘an dīnihim” (Kemudian setan datang dan membuat mereka jauh dari ajaran agama).
Maka demikian, manusia membutuhkan pegangan dalam kehidupan ini agar dia selalu berada di bawah petunjuk Allah. Ibn Abī Syaibah dalam kitab al-Muṣannaf menceritakan kebiasaan Abū Bakar yang membaca doa “Rabbanā lā tuzigh qulūbanā ba‘da idz hadaitanā wahablanā min ladunka raḥmatan innaka anta al-wahhāb” (Ya Allah janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi anugerah).
Abū Bakar membaca doa itu secara sirr (pelan) setelah membaca al-Fātiḥah pada rakaat ketiga shalat Maghrib.
Berdasarkan praktik Abū Bakar ini, Ibn Katsir dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓim memahami firman Allah, “Ihdinā ṣirāṭal mustaqīm” dengan makna “Ya Allah, rawatlah ke-ḥanīf-an yang telah Engkau tanamkan pada jiwa kami, sehingga selalu kami cenderung kepada jalan yang lurus.” Amin.
*Penulis Sekretaris Lembaga Penjaminan Mutu ( LPM) UIN Ar-Raniry