BANDA ACEH — Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al Haythar menyinggung angka kemiskinan Aceh yang masih tinggi meski usia perdamaian telah berlangsung 17 tahun.
Malik menilai ada yang salah dalam tata kelola pemerintahan di Tanah Rencong.
Malik awalnya berbicara masalah penandatanganan kesepakatan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia yang berlangsung di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 silam. Malik menjadi perwakilan GAM saat meneken naskah perdamaian tersebut.
“Saya selaku sebagai pihak kedua penandatanganan MoU Helsinki 2005 meminta pemerintah dan Pemerintah Aceh mempedomani MoU Helsinki berikut butir-butir yang terkandung di dalamnya, dan Undang-undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dalam mengambil kebijakan dan melaksanakan tata kelola Pemerintahan Aceh, yang baik bersih, bermartabat untuk kesejahteraan bangsa Aceh sebagaimana komitmen yang tercantum dalam kesepakatan damai MoU Helsinki,” kata Malik dalam sambutannya pada peringatan Hari Damai di Banda Aceh, Senin (15/8/2022) seperti dilansir dari detikSumut.
Mantan Perdana Menteri GAM itu mengaku harus berulangkali menyampaikan hal tersebut ke pemerintah pusat dan pemerintah Aceh.
Dia mengingatkan, pemerintah bahwa MoU Helsinki bukan titik berhentinya perjuangan Aceh tapi starting point dimulainya perjuangan dari angkatan bersenjata ke haluan politik.
Dia lalu menyinggung soal kemiskinan Aceh yang dinilai masih tinggi. Malik mengutip data dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh yang menyebutkan di tahun 2022 lebih dari 800 ribu atau lebih 15 persen dari 5,3 juta masyarakat masuk dalam kategori miskin.
“Ini sebenarnya amat memalukan bagi kita bangsa Aceh. Aceh dari zaman dulu dikenal sebagai suatu negara yang sangat maju dan kaya di Asia Tenggara ini. Ini tentunya ironis apa yang terjadi di Aceh sekarang dan menjadi indikasi bahwa selama ini ada yang yang salah dengan tata kelola pemerintahan dan tata kelola keuangan Aceh,” ujar Malik.
Menurutnya, bila butir-butir MoU Helsinki diimplementasikan secara maksimal, Aceh akan bebas dari kemiskinan.
Penerapan itu harus dipahami semua kalangan di Tanah Rencong mulai dari pemerintah, masyarakat dan swasta.
“Jika seluruh butir-butir MoU Helsinki dan pasal-pasal dalam UUPA telah diimplementasikan secara maksimal, rakyat Aceh bukan hanya akan terlepas dari belenggu kemiskinan, tapi juga akan menjadi bangsa yang sejahtera, berwibawa dan bermartabat,” terang Malik.
Ia menuturkan belum cukup dirasakan damai jika pergerakan ekonomi Aceh masih bergantung pada sumber APBA dan Otsus semata.
Aceh mesti mengelola dengan baik dan profesional potensi pertanian, perikanan, peternakan, dengan membangun infrastruktur dan suprastruktur yang mendukung peningkatan kualitas produksi, mengolah menjadi bahan jadi guna memenuhi kebutuhan masyarakat Aceh.
Setelah terpenuhi kebutuhan Aceh, selanjutnya memenuhi kebutuhan masyarakat di luar Aceh.
“Demikian juga pemanfaatan potensi letaknya geografis Aceh yang strategis khususnya di jalur perdagangan laut dan pernerbangan udara internasional. Dengan didukung ketulusan dan keikhlasan kita dalam upaya membangun Aceh, hal tersebut bukan suatu perkara yang sulit untuk dilaksanakan,” kata Malik.
Selain itu, Malik Mahmud turut menyinggung perilaku korupsi, menghalalkan segala cara, mementingkan kepentingan kelompok atau pribadi, dan terlebih perilaku menodai syariat Islam di Aceh. (IA)