BANDA ACEH — Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) meminta kepada Pj Gubernur Aceh untuk dapat mengevaluasi dan segera mengganti Kepala Dinas yang berkinerja lemah, tidak profesional, realisasi anggarannya rendah, serta sumber daya manusianya lemah.
Penegasan tersebut disampaikan oleh Juru Bicara Badan Anggaran (Banggar) DPRA dr Purnama Setia Budi Sp.OG dalam rapat paripurna Penyampaian Pendapat Badan Anggaran DPRA terhadap Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan APBA Tahun Anggaran 2022, Kamis (22/9/2022).
Rapat paripurna tersebut dipimpin Wakil Ketua III DPRA Safaruddin didampingi Wakil Ketua I Dalimi. Turut hadir Sekretaris Daerah Aceh Bustami Hamzah.
Badan Anggaran DPRA memberikan beberapa catatan terhadap pelaksanaan program pembangunan Aceh, salah satunya menyangkut evaluasi kepala dinas.
Oleh karena itu, Badan Anggaran dalam catatan Pendapat Badan Anggaran DPRA terhadap Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan APBA Tahun Anggaran 2022 itu, menyebut dua Kepala Dinas yang harus dihanti, yaitu Kepala Dinas Pendidikan Aceh dan Kepala Sekretariat Baitulmal Aceh.
Saat ini Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh dijabat oleh Drs Alhudri MM dan Kepala Sekretariat Baitulmal Aceh (BMA) Rahmad Raden.
“Badan Anggaran DPRA meminta kepada Pj Gubernur Aceh untuk dapat mengevaluasi dan mengganti Kepala Dinas yang kinerjanya lemah, tidak profesional, realisasi anggarannya rendah, sumber daya manusianya lemah, di antaranya Kepala Dinas Pendidikan Aceh dan Kepala Sekretariat Baitulmal Aceh,” sebut dr Purnama, politisi Partai Keadilan Sejahtera asal Kabupaten Bireun.
Dalam kesempatan itu, Banggar DPRA juga menyinggung tanah Blang Padang yang merupakan aset Pemerintah Aceh, diperoleh secara turun menurun dari warisan kerajaan Aceh yang harus disertifikatkan.
“Begitu juga dengan aset lainnya seperti tanah kolam renang Tirta Raya, tanah eks Bioskop Gajah Theater, dan aset lainnya yang ada diseluruh Kabupaten/Kota maupun di luar Aceh harus disertifikasi,” ungkapnya.
Banggar DPRA juga meminta kepada Pj Gubernur Aceh untuk mengevaluasi program Gerakan Imunisasi dan Stunting Aceh (GISA) yang tidak menyentuh substansi stunting karena kerjanya sporadis dan insidental.
“Contohnya seperti mengharuskan SKPA turun ke lapangan dan pasang stiker mobil tidak menyelesaikan masalah, hanya kegiatan menghamburkan SPPD (APBA) serta tidak berhubungan langsung dalam penurunan stunting,” tuturnya.
Menurut Banggar DPRA, yang dibutuhkan adalah konvergensi program dari semua stakeholder yang mampu memastikan warga stunting mendapatkan asupan gizi dengan kalori yang cukup, serta dapat mengakses layanan kesehatan dengan mudah.
“Program Rumoh Gizi Gampong (RGG) adalah mekanisme program pencegahan dan penanganan stunting yang memastikan masyarakat gampong sebagai subjek dan dibantu langsung oleh pihak puskesmas yang didukung oleh pemerintah kabupaten/kota dan mendapat asistensi dan kordinasi dari pemerintah Aceh dalam hal ini SKPA dengan data penderita suntanting di gampong-gampong by name by addres sehingga tepat sasaran baik itu kuratif, prepentif dan prediktif,” ungkap Jubir Banggar. (IA)