BANDA ACEH — Koalisi Masyarakat Sipil kembali mendesak Presiden Joko Widodo untuk memberhentikan Mayjen (Purn) Achmad Marzuki dalam jabatannya sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Aceh dan dalam Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Madya sebagai Staf Ahli Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Syahrul mengungkapkan, pengangkatan Achmad Marzuki dalam JPT Madya Staf Ahli Mendagri dilakukan tanpa melalui proses secara terbuka dan kompetitif, sehingga bertentangan dengan Pasal 109 Ayat (2) UU Nom 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) Jo. Pasal 157 Ayat (1) PP No.11/ 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil diubah dengan PP Nomor 17/ 2020 (PP Manajemen PNS).
Selain cacat prosedur, juga mencederai prinsip – prinsip demokrasi dan HAM. Dimana pengisian Penjabat Kepala Daerah masih dalam ruang lingkup pemaknaan “secara demokratis” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.
Oleh karenanya, perlu bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas sekaligus memberikan jaminan bagi hak asasi warga negara untuk mendapatkan informasi dan berperan aktif terhadap jalannya pemerintahan.
Disebutkannya, Aceh adalah salah satu daerah yang terdampak akibat penundaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang masa jabatan Gubernur definitif berakhir 5 Juli 2022.
Lalu, untuk mengisi kekosongan Gubernur Aceh definitif, Presiden Jokowi mengangkat Mayjen TNI (Purn) Achmad Marzuki sebagai Pj Gubernur Aceh pada 4 Juli 2022. Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, pengangkatan ini dilakukan secara “brutal” dan ugal-ugalan.
“Mengingat proses pengangkatan Pj Gubernur Aceh berlangsung secara senyap, maka kami menduga adanya upaya menghidupkan kembali Dwifungsi TNI secara “terselubung” dengan memanfaatkan celah kosong peraturan perundang-undangan. Oleh karena Achmad Marzuki sudah dipersiapkan sejak awal saat masih menjadi TNI aktif untuk dijadikan Penjabat Gubernur Aceh,” sebut Syahrul, dalam keterangan persnya, Kamis (15/12).
Bagaimana tidak, pada tanggal 1 Juli 2022 Achmad Marzuki mengundurkan diri dari TNI aktif, lalu pada 1 Juli 2022 Achmad Marzuki langsung diangkat oleh Presiden dalam Jabatan Pimpinan Tinggi sebagai Staf Ahli Kemendagri. Dan pada 4 Juli 2022 AM diangkat oleh Presiden sebagai Penjabat Gubernur Aceh.
“Pengangkatan Achmad Marzuki membuktikan bahwa rezim Jokowi mengalami kemunduran dengan menarik kembali TNI ke ranah sipil dan militerisme masih mengakar di rezim ini. Situasi ini memberikan traumatik bagi sipil akan kepemimpinan militer yang penuh dengan penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran HAM, korupsi, dll sebagaimana zaman Orba”.
Padahal, secara histori TNI didesak kembali ke barak demi mewujudkan profesionalisme TNI dan menghidupkan kembali sendi – sendi demokrasi sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR 10/1998 dan TAP MPR 6/2000. Pelibatan kalangan TNI ke ranah sipil tidak terlepas dengan kebijakan lain, seperti pelemahan KPK, UU Cipta Kerja, UU IKN, UU Minerba dalam rangka mengamankan kebijakan ini untuk memuluskan perampasan ruang hidup rakyat.
“Terbukti, selama menjabat Achmad Marzuki mulai melakukan evaluasi izin – izin pertambangan di Aceh dan melakukan pembiaran terhadap perampasan lahan petani untuk perkebunan sawit,” ungkap Syahrul.
Secara umum, lanjutnya, penunjukkan penjabat kepala daerah di bawah eksekutif merupakan upaya membajak demokrasi baik melalui pemilu langsung maupun penundaan. Situasi ini mirip dengan demokrasi terpimpin di era Orde Lama dimana semua urusan pemerintahan diserahkan ke tangan eksekutif.
“Kami khawatir, ke depan akan banyak suara – surat dari legislatif dan komponen lain yang menyerahkan semua urusan negara ke tangan eksekutif yaitu Jokowi.
Logikanya, ketika ada pesta demokrasi maka rakyat sebagai konstituen. Karena penunjukkan penjabat kepala daerah dilakukan oleh eksekutif tanpa kontrol legislatif dan rakyat, maka sesungguhnya konstituen dan operator dari penjabat tersebut adalah eksekutif yaitu Jokowi, bukan lagi rakyat. Ini melahirkan kebijakan satu komando di tangan Presiden, bukan hanya Aceh tapi termasuk daerah yang lain.
Hal mana, konteks komando tetap di urusan bisnis, investasi dan sumber daya alam, bukan kebutuhan masyarakat,” terangnya.
Berdasarkan uraian tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Presiden RI dan Mendagri RI untuk menghentikan upaya – upaya penyelundupan Dwi Fungsi TNI maupun Polri melalui pengisian kekosongan jabatan kepala daerah.
Selanjutnya, mendesak segera menerbitkan peraturan pelaksana tentang pengisian kekosongan jabatan kepala daerah untuk menjamin proses penunjukkan penjabat kepala daerah berdasarkan prinsip – prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. (IA)