Oleh: Dr. Hafas Furqani, M.Ec*
Sebagai hamba, tentu kita semua sadar bahwa yang Maha Memiliki segala sesuatu, di bumi dan di langit, yang tampak dan tersembunyi, bahkan diri manusia itu sendiri adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Yang kita miliki, sebenarnya bukan milik kita. Semuanya adalah amanah dari Allah. Manusia diberikan berbagai macam fasilitas, harta, kekayaan, anak, kebun, dan lain-lain, pada hakikatnya adalah atas dasar amanah dari Allah.
Tetapi, Sir Muqtasid, agak heran ketika membaca al-Qur’an, Surah al-Taubah, ayat 111, dimana Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka”.
Yang menjadi pertanyaan Sir Muqtasid adalah: “Bukankah semua ini milik Allah, bahkan apa yang dianugerahkan kepada manusia adalah milik-Nya? Lalu kenapa Allah membeli dari manusia?” Tanya Sir Muqtasid dalam hati dengan penuh penasaran.
Sir Muqtasid segera mencari buku-buku bacaan yang ditulis para ulama untuk menafsirkan masalah ini.
Jawaban disampaikan oleh Prof. Quraish Shihab dalam bukunya Berbisnis dengan Allah (2008). Manusia, oleh Allah diciptakan dengan memiliki keinginan, yang merupakan naluri alamiah, untuk memiliki apa yang ada padanya dengan penuh cinta dan dihiasi dorongan nafsu syahwat (hubbus syahawat) untuk terus memiliki dan enggan untuk melepaskannya.
Untuk itu, demi menghargai naluri tersebut, Allah mengajak manusia untuk berbisnis dengan iming-iming keuntungan yang luar biasa. Keuntungan tersebut bersifat pasti. Dalam arti, tidak mungkin akan terjadi kerugian.
Allah mengajak manusia untuk melakukan bisnis dimana modal yang sudah diberikan kepada manusia, diinvestasikan kembali kepada Allah (Sang Pemberi).
Sebagai makhluk yang berpikir pendek dan lengket dengan nafsunya, tentu manusia akan melakukan kalkulasi berapa besar keuntungan yang akan diperoleh. Walaupun diiming-imingi dengan tingkat keuntungan yang luar biasa, ternyata tidak semua mau berbisnis dengan Allah.
Syaikh Badiuzzaman Said Nursi dalam bukunya Alegori Kebenaran Ilahi (2003) ketika menafsirkan ayat tersebut membuat perumpamaan seperti ini:
“Seorang raja, karena rasa sayangnya kepada dua orang hambanya, memberikan harta kekayaan yang melimpah ruah. Tetapi karena kondisi dalam keadaan perang, raja yang pemurah dan penyayang, menawarkan kepada dua hambanya agar harta tersebut, dijual kepadanya dengan perjanjian jumlahnya akan terjamin, tidak berkurang sedikitpun, bahkan akan diberikan keuntungan yang berlipat-lipat hasil dari bisnis ini. Raja akan bertangggungjawab atas segala biaya dan penjagaan yang dikeluarkan. Di samping itu, sang hamba akan lepas dari perasaan was-was kehilangan harta, pikirannya nyaman dari agenda menjaga harta yang memalingkan dari tujuan besar lainnya. Lalu, sikap hamba mendengar tawaran emas tersebut ternyata berbeda-beda. Seorang hamba, menangkap peluang keemasan ini, dimana dia melepas hartanya dengan ikhlas dan berbisnis dengan raja. Tetapi, yang lain, tidak percaya dan enggan melepas hartanya. Harta yang ada dibiarkan begitu saja karena masih cinta dan takut jumlahnya berkurang atau hilang. Raja menjalankan kesepakatan bisnis tersebut dan jumlah harta hamba pertama terus bertambah dan dikembalikan Raja pada waktunya tanpa diambil sedikitpun. Sementara hamba kedua, tidak mendapat apa-apa, dan hartanya habis. Penyesalan menghantui dirinya”.
Berbisnis dengan Allah adalah dalam bentuk infaq fi sabilillah (mengeluarkan harta pada jalan Allah), kebajikan (al-khayrat) dan amal sholeh (al-a’mal al-shalihat).
Berbisnis dengan Allah artinya tidak mengeluarkan harta yang diberikan-Nya pada jalan-jalan keburukan (al-sayyi’at), maksiat dan dosa, perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat, atau yang paling parah mengeluarkan harta pada jalan-jalan syaitan.
Bisnis Islahi, yang dicari adalah keridhaan Allah (ibtigha’ wajhillah, al-Baqarah: 272). Kuncinya adalah kepercayaan (iman). Keimanan melahirkan pengorbanan, keikhlasan dan kesabaran (al-Kahfi, 69).
Keimanan melakukan transaksi ilahi adalah refleksi ketundukan, kepatuhan, dan kecintaan (Ali-Imran: 31-32). Keimanan ini yang dinilai, bukan jumlah harta yang dikeluarkan. Keimanan tersebut akan dinilai dengan balasan yang tidak terhingga.
Bisnis Ilahi, kata Said Nursi, adalah sebuah perniagaan yang pasti menguntungkan. Sangat rugi manusia yang tidak tertarik dengan bisnis Ilahi ini.
Setidaknya, Menurut Said Nursi, ada lima keuntungan yang diperoleh:
- Harta yang dimiliki pada hakikatnya fana, baru akan abadi ketika sudah ditransaksikan pada bisnis Ilahi.
Manusia diberi ganjaran pahala pada setiap transaksi ilahi yang dilakukan.
Jiwa terbebas dari kungkungan nafsu materil yang sebenarnya tidak membawa ketenangan, bahkan membebani manusia, menjadikannya gelisah dan stres.
Derajat kita di sisi Allah menjadi tinggi dengan limpahan rahmat dan keberkahan.
Harga tinggi dalam bisnis ilahi yang ditawarkan adalah syurga.
Sebaliknya, jika menolak melakukan bisnis Ilahi, manusia akan menderita lima kerugian, yaitu:
- Harta yang dimiliki menjadi tidak bermanfaat, lenyap seiring dengan lenyapnya manusia.
Ketika harta tersebut dipalingkan dari jalan Allah, manusia menjadi berdosa.
Beban berat memiliki harta akan membawa kepada kesusahan hidup, kegelisahan dan ketidaknyamanan.
Derajat manusia di sisi Allah menjadi rendah.
Tempat manusia yang seperti ini adalah di neraka.
Demikian, pandangan para ulama terkait berbisnis dengan Allah. Sir Muqtasid kemudian merenung kembali berbagai kenikmatan hidup yang Allah limpahkan kepadanya.
Sir Muqtasid sadar bahwa transaksi yang dilakukan masih sangat kecil, dibanding modal yang telah Allah berikan kepadanya. Sir Muqtasid sangat sedih akan hal ini. Sungguh, yang menahannya dari menjalankan bisnis Ilahi adalah dorongan nafsu ingin terus menikmati harta, rasa kikir kepada orang lain dan keraguan bahwa Allah mudah sekali mengganti dan menambah keuntungan dari setiap transaksi ilahi yang dilakukan.
Sir Muqtasid masih diliputi nafsu dan terbuai dengan godaan syaitan untuk cinta harta (hubbul mal).
Padahal, sifat kedermawanan adalah cermin hakikat diri yang dekat dengan Tuhan.
Syeikh Jalaluddin Rumi (quddisa sirruh) sebagaimana dikutip oleh Syeikh Osman Nuri Topbas pernah berkata:
“Sebagaimana wajah rupawan dapat terpantul pada cermin, demikianlah pula indahnya kemurahan hati tercermin pada pemberian terhadap orang miskin dan sengsara. Mereka yang bersama Allah atau fana dalam eksistensi Allah, berada dalam kondisi kedermawanan yang terus menerus”.
Banda Aceh, 14 November 2020
*Penulis, Wakil Dekan I Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Ar-Raniry