JAKARTA — Ketua DPR RI Puan Maharani, tidak menghadiri panggilan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (2/1/2024).
Panggilan tersebut karena ada gugatan dari salah satu Anggota DPRK Kabupaten Simeulue Ugek Farlian. Persidangan pertama ini dengan agenda pemeriksaan para pihak dalam perkara tersebut dalam nomor 830/Pdt.G/2023/PN JKT.Pst.
Sidang dibuka pada pukul 12.15 Wib oleh Ketua Majelis Hakim, Dariyanto SH dengan anggota R Bernadetto SH dan Dr Sutarno. Persidangan hanya dihadiri oleh Penggugat, Ugek Farlian dengan didampingi kuasa hukumnya, Safaruddin.
Persidangan pertama ini, majelis hakim memeriksa identitas penggugat dan kuasa, setelah dinyatakan lengkap, majelis hakim kemudian menunda persidangan selama satu pekan untuk memanggil kembali Ketua DPR RI selaku tergugat dalam perkara ini.
“Tadi kami sudah diperiksa identitasnya, dan sudah dinyatakan lengkap oleh majelis hakim, namun karena tergugat tidak hadir, hakim menunda persidangan selama satu pekan,” terang Ugek.
Pada 13 Desember 2023 lalu, Anggota DPRK Simeulue, Ugek Farlian, menggugat Ketua DPR RI Puan Maharani, ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Gugatan tersebut, terkait dengan perbuatan DPR RI yang tidak menjalankan perintah UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan Atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-undang, dan Kebijakan Administratif yang Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan Aceh.
Adapun alasan Ugek mengajukan gugatan karena dirinya selaku Anggota DPRK Simeulue merasa dirugikan dari tidak dilaksanakannya perintah UUPA dan Perpres 75/2008 tersebut, seperti mencabut kewenangan Kabupaten di Aceh dalam mengelola pelabuhan yang telah di atur dalam pasal 254 UUPA, kemudian kewenangan tersebut dicabut dengan disahkannya UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Dimana, kata Ugek, dalam pengesahan UU 23/2014 tersebut, DPR tidak menjalankan perintah UUPA dan Perpres 75/2008 dengan berkonsultasi dan meminta pertimbangan DPRA terlebih dahulu ketika dalam UU yang dibahas terkait langsung dengan kewenagan Aceh.
“Gugatan ini, terkait dengan kepatuhan hukum dari DPR selaku pembuat UUPA dalam menjalankan perintah UUPA itu sendiri, dalam UUPA yang kemudian ditegaskan kembali oleh Perpres 75/2008 diperintahkan kepada DPR agar melakukan konsultasi dan meminta pertimbangan DPRA jika ada materi dalam pembahasan suatu Undang-Undang itu berkaitan langsung dengan kewenangan Aceh, seperti kewenangan Kabupaten mengelola Pelabuhan yang telah diberikan dalam pasal 254 UUPA, kemudian di cabut dengan UU 23/2014, dan proses pengesahan UU 23/2014 ini tidak melibatkan DPRA selaku lembaga yang harus dilibatkan karena materi dalam UU tersebut berkaitan langsung dengan Aceh,” ujar Safaruddin menjelaskan subtansi gugatan tersebut. (IA)