BANDA ACEH — Sebanyak 50 organisasi masyarakat sipil di Aceh mengirimkan surat dukungan untuk pemberian Amnesti (pengampunan) kepada Saiful Mahdi, dosen di Universitas Syiah Kuala (USK) yang sedang menjalani vonis Pengadilan Negeri Banda Aceh terkait kasus pencemaran nama baik yang didakwakan kepadanya.
Surat yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo tersebut dikirimkan pada Rabu (15/9).
Pengajuan permohonan Amnesti ini merupakan bentuk keprihatinan masyarakat sipil atas pemenjaraan Saiful Mahdi tepat di hari pendidikan daerah Aceh, 2 September 2021.
Saiful Mahdi dilaporkan melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) setelah menulis pesan di grup internal WhatsApp “UnsyiahKITA” yang mengkritik proses penerimaan CPNS baru di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala di tahun 2018.
“Selama ini kami mengenal Dr Saiful Mahdi sebagai akademisi yang berdedikasi terhadap perdamaian Aceh serta pembangunan Aceh pasca tsunami,” ujar Riswati, Direktur Flower Aceh yang mewakili Koalisi Aceh Masyarakat Sipil Aceh untuk Amnesti bagi Saiful Mahdi, Jum’at (16/9).
Ia menambahkan, Saiful Mahdi adalah pendiri dan direktur eksekutif pertama lembaga penelitian independen The Aceh Institute yang bekerja untuk pembangunan Aceh yang berbasis data, demi Aceh yang damai dan demokratis.
Setelah Aceh dilanda Tsunami 2004, Saiful Mahdi yang saat itu sedang menempuh pendidikan S-3 di Cornell University, mendirikan Aceh Relief Fund yang berbasis di New York untuk pengumpulan dan penyaluran bantuan darurat.
Pasca tsunami dan MoU Helsinki, Saiful Mahdi menjadi Direktur International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) yang melaksanakan berbagai penelitian dan pelatihan, termasuk pelatihan bagi instansi pemerintah di Aceh.
Selain itu, Riswati juga menyampaikan, kepakaran Saiful Mahdi di bidang Statistik juga diakui tingkat nasional. Ia ditetapkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai Anggota Forum Masyarakat Statistik untuk periode 2019-2020 yang bertugas untuk memberikan saran dan pertimbangan di bidang statistik kepada Badan Pusat Statistik dan Menneg PPN/Kepala Bappenas.
“Oleh karena itu, pemenjaraan terhadap Dr Saiful Mahdi adalah kerugian besar bagi kita semua”, ungkap Riris.
Surat dukungan menyatakan diskusi dan saling kritik di dalam lingkungan kampus seharusnya dapat diselesaikan di internal kampus. Perbedaan pendapat dalam penerimaan CPNS baru seharusnya dapat diselesaikan di dalam kampus Universitas Syiah Kuala.
Jika perlu, dengan mediasi dari perwakilan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Surat amnesti yang juga didukung oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Aceh dan Lembaga Bantuan Hukum Jendela Keadilan Aceh (LBH-JKA) ini menyebutkan, Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan bahwa implementasi UU ITE perlu menjunjung tinggi keadilan.
Karenanya, keputusan hukum terhadap kritik Saiful Mahdi tidak sejalan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Kapolri, Jaksa Agung dan Menkominfo Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu Dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dalam SKB tersebut, Pedoman Implementasi Pasal 27 ayat (3) terutama dalam huruf c, f dan k, jelas menunjukkan bahwa seharusnya tidak ada unsur pencemaran nama baik atau fitnah apapun yang terpenuhi dan dapat dipakai untuk pemidanaan terhadap Saiful Mahdi.
Pada Pedoman Implementasi Pasal 27 ayat (3) huruf f ditegaskan bahwa: “Korban sebagai pelapor harus perseorangan dengan identitas spesifik, dan bukan institusi, korporasi, profesi atau jabatan.” Logikanya, institusi dan jabatan tidak mempunyai perasaan sehingga bagaimana mungkin dapat terhina.
Sementara itu, Pedoman Implementasi Pasal 27 ayat (3) huruf k menegaskan: “Bukan merupakan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam hal konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas, seperti grup percakapan keluarga, kelompok pertemanan akrab, kelompok profesi, grup sekantor, grup kampus atau institusi pendidikan yang dalam konteks kasus ini sebuah WAG yang terbatas “UnsyiahKITA” yang berisi sekitar 100-an dosen dan karyawan kampus Universitas Syiah Kuala.
Menurut Riswati, vonis Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi yang diperkuat oleh Mahkamah Agung atas Saiful Mahdi secara terang-benderang bukan hanya melukai rasa keadilan, tapi juga membahayakan kepastian hukum karena vonis serupa dapat menimpa siapa saja karena ukuran perbuatan pidana yang dilarang tidak jelas.
Pemidanaan terhadap Saiful Mahdi juga bisa berdampak kepada mahasiswa dan akademisi untuk memilih diam dalam melihat dan mengkritisi ketidakpatutan di sekitar mereka.
“Ini menjadi sebuah ironi dalam perguruan tinggi tempat kita belajar berpikir kritis, dan bisa menjadi kondisi yang kontra produktif bagi kemajuan bangsa,” katanya.
“Melalui surat tersebut, atas dasar kemanusiaan, kami mohon kemurahan hati Presiden untuk memberikan amnesti pada Dr Saiful Mahdi. Pemenjaraan seorang dosen dengan kepakaran yang diakui di bidangnya serta berkomitmen tinggi terhadap kejujuran dan kemanusiaan adalah kerugian bagi kita semua,” terang Riswati.
Sebelumnya, atas dasar kemanusiaan, Presiden Joko Widodo pernah memberikan Amnesti untuk Baiq Nuril yang juga dijerat dengan UU ITE pada Agustus 2019.
Di tingkat nasional, dukungan amnesti telah disampaikan oleh lebih dari 30 lembaga dan individu seperti LP3ES, CSIS, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Faisal Basri, Feri Amasari dan Yanuar Nugroho.
Arsul Sani dari Partai Persatuan Pembangunan juga menyatakan akan mengusulkan amnesti pada Presiden Joko Widodo. Lembaga perlindungan hak asasi manusia Amnesty Internasional juga menggalang dukungan dunia internasional bagi Saiful Mahdi.
Dari Australia, 38 akademisi yang berfokus pada studi Indonesia juga telah mengirimkan surat dukungan mereka. Akademisi itu berasal dari beragam universitas seperti Australian National University, Flinders University, Monash University, Macquaire University, Murdoch University, University of Melbourne, University of Western Australia, dan West Sydney University.
Daftar lengkap 50 organisasi masyarakat sipil di Aceh yang mendukung amnesti ini adalah Aceh Institute, Asosiasi Fulbright Aceh (Aceh Fulbright Association), Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA), Environmental Innovator (Evator), DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Aceh, Flower Aceh, Forum Bangun Aceh, Forum LSM Aceh dan Gerakan Anti Korupsi Aceh (Gerak Aceh).
Kemudian, Jaringan Anti Korupsi Gayo (JANGKO), Jaringan Perempuan untuk Keadilan (Jari Aceh), Kanot Bu, Katahati Institute, Koalisi Advokasi dan Pemantauan Hak Anak (KAPHA), Koalisi NGO HAM Aceh, Komisi Kesetaraan KSBSI Aceh, Komunitas Pendar, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Kontras Aceh, Jaringan Advokasi untuk Advokasi Laut Aceh (Jaringan KuaLA) dan Laboratorium Pengembangan Sosial Keagamaan (LABPSA).
Selanjutnya, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Aceh, Lembaga Bantuan Hukum Jendela Keadilan Aceh (LBH-JKA), Lembaga Independen Bersih Aceh Selatan (Libas), Masyarakat Transparansi Aceh (Mata Aceh), Pemuda Muhammadiyah Kota Banda Aceh, Pemuda Muhammadiyah Aceh, Pemuda Pecinta Alam (PePAL) Singkil, Perkumpulan Prodelaat, Pidie Development Center (LSM PDC), PKBI Aceh, Puan Addisa dan Redelong Institute.
Lalu, Relawan Perempuan untuk Kemanusian (RPuK), Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) Aceh, Serikat Inong Aceh (SeIA), Sekolah Anti Korupsi (SAKA), Sekolah HAM Perempuan Flower Aceh, Solidaritas Perempuan Bungong Jeumpa Aceh, Solidaritas Persaudaraan Keluarga Korban Pelanggaran HAM Aceh (SPKP HAM Aceh), South Aceh Institute.
Terakhir Walhi Aceh, Yayasan Aceh Hijau , Yayasan Anak Bangsa, Yayasan Bumiku Hijau (YABUMI), Yayasan Darah untuk Aceh, Yayasan Geutanyo, Yayasan PASKA Aceh, Yayasan Pulih Aceh dan Yayasan Suara Hati Rakyat (SAHARA). (IA)