BANDA ACEH — Masa jabatan Gubernur Aceh Nova Iriansyah akan berakhir pada 5 Juli 2022 mendatang. Selanjutnya, Pemerintah Pusat akan segera menunjuk Penjabat (Pj) Gubernur Aceh untuk memimpin Aceh hingga terpilihnya Gubernur Aceh definitif dalam Pilkada tahun 20224.
Untuk itu, Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) Tgk H Muhammad Yusuf A Wahab akrab disapa Tu Sop mengingatkan agar penunjukkan Pj Gubernur Aceh harus orang yang memiliki integritas, kapasitas dan berani bermanuver untuk kepentingan kesejahteraan rakyat Aceh yang berkeadilan sesuai dengan semangat syariat Islam.
Jadi, untuk menjadi Pj Gubernur Aceh tidak cukup dengan modal “Meuturi Get” (kenal baik) hanya karena popularitasnya, tapi juga harus “Get Meuturi” (benar-benar kenal) baik secara watak, perilaku, integritas, kapabilitas, keberanian, keberpihakannya untuk kepentingan Aceh.
Intinya “beu taturi get, bek asal get meturi (benar-benar dikenal baiknya, benar dalam integritas dan kapasitas bukan sekedar benar terkenal orangnya, padahal belum tentu dia orang benar),” tegas Tu Sop.
Hal itu disampaikan Tu Sop dalam keterangan tertulisnya sebagai Ketua HUDA, Ahad (22/5/2022) mengingat sebentar lagi pemerintah pusat akan mengalihkan kepemimpinan Gubernur Aceh yang berakhir masa jabatan kepada seorang Pj Gubernur yang ditunjuk langsung. Dan untuk melajutkan roda Pemerintahan Aceh yang sangat banyak pekerjaan rumahnya sangat dibutuhkan sosok yang berintegritas, memiliki kapasitas dan mampu bermanuver demi kepentingan Aceh.
Integritas dan kapasitas yang dibutuhkan dengan kemampuan memadai, integritas dan kapasitas itu diantaranya adalah sosok yang amanah mengingat besarnya anggaran Aceh harus terselamatkan serta termanfaatkan pada kebutuhan prioritas masyarakat Aceh.
Jangan sampai anggaran untuk prioritas masyarakat tersebut menjadil Silpa atau justru tidak cukup karena lebih mementingkan belanja daerah yang kurang manfaatnya. Jika ini terjadi maka maksud negara untuk menurunkan angka kemiskinan di Aceh tentu akan mengalami hambatan.
Tidak di situ saja, situasi kepemimpinan Pj Gubernur dalam kurun waktu 2,5 tahun ke depan jika tidak amanah akan berpengaruh terhadap pada status Aceh yang menyandang daerah syariat Islam, ini akan menjadi fitnah bagi agama bahwa seakan-akan orang Islam di Aceh tidak mampu mengelola anggaran dengan amanah, suka pada kemubaziran dan kikir terhadap rakyatnya.
Tu Sop melanjutkan, kemampuan manuver Pj Gubernur Aceh yang dibutuhkan yaitu mampu melakukan terobosan-terobosan cerdas baik secara regulasi maupun kegiatan pembangunan yang menyelamatkan anak bangsa.
Di antaranya adalah mampu menjadikan syariat Islam sebagai nilai-nilai dasar dalam pembangunan Aceh. Baik itu dalam menjalankan tata kelola pemerintahan dan menjadi penghubung atas kepentingan Aceh dengan pemerintah pusat. Pj Gubernur harus dapat menghubungkan nilai syariat Islam dalam semua sector pembangunan, menerapkan prinsip halal haram di agama bukan pada makanan saja, tapi halal/haram itu harus hadir di isu infrastruktur, sosial, ekonomi dan pelayanan publik.
Misalkan, kejahatan korupsi diharapkan tidak terjadi bukan saja karena takut ditangkap, tapi juga juga karena nilai perbuatannya haram yang pasti akan mendapatkan hukuman di akhirat kelak. Jika kepada Tuhan saja mereka tidak takut maka tidak mungkin Pj Gubernur akan menjadi teladan bagi masyarakat Aceh.
“Pada intinya Pj Gubernur Aceh juga harus punya kemampuan menjadikan syariat sebagai kekuatan pembangunan, serta syariat sebagai solusi, atas bebagai persoalan yang sedang mendera Aceh, sehingga syariat Islam bukan saja sebagai alat hukuman saja tapi juga sebagai konsep pembinaan serta perbaikan sendi-sendi kehidupan seluruh masyarakat Aceh.
Bila nantinya Pj Gubernur tidak punya strateginya, maka harus melibatkan Majelis Permusyawatan Ulama (MPU) Aceh, yang sekarang ini kami nilai lemah sekali fungsinya dalam penentuan semua kebijakan di Aceh,” ungkapnya.
MPU terlemahkan karena digunakan hanya sebagai lembaga produksi rekomendasi saja tanpa punya kekuatan untuk mengevaluasi pemerintah sejauh mana saran/rekomendasi MPU teriplementasikan dalam Pemerintahan Aceh.
HUDA berharap Pj Gubernur mendatang siapapun orangnya dapat menghubungkan ini dengan baik, hingga pembagunan Aceh berjalan nantinya adalah pembangunan yang bersedikan syariat Islam.
Tu Sop juga mengingatkan kembali pemerintah pusat dalam penunjukkan Pj Gubernur Aceh nantinya harus mengedepankan kepentingan Aceh, bukan kepentingan ambisi elit politik atau bahkan karena kepentingan kelompok tertentu.
“Jakarta harus ikhlas menentukan Pj berdasarkan kepentingan Aceh secara khusus dan Indonesia secara umum, bukan karena kepentingan elit apalagi kelompok tertentu,” sebut Tu Sop.
HUDA Aceh menyampaikan akan siap berkolaborasi dan sinergi dengan siapapun Pj Gubernur Aceh yang akan ditunjuk, selama dalam koridor kenpentingan Aceh sebagai daerah khusus sekaligus istimewa yang bersendikan syariat Islam. (IA)