Banda Aceh — Islam mengajarkan umatnya untuk terus menjalin persaudaraan dan menjaga hubungan baik antar sesama atau hablum minannas, baik itu terhadap sesama muslim maupun dengan non muslim, sebaliknya Islam sangat membenci dan mencela perpecahan dan permusuhan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat 49: Ayat 1)
Demikian disampaikan Penceramah Kondang Dr Tgk H Amri Farmi Anzis Lc MA saat mengisi taushiyah pada pelaksanaan safari subuh berjamaah gabungan se-Aceh dalam rangka Tarhib Ramadhan 1443 Hijriah di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Ahad (27/3) pagi.
Menurut Tgk Amri Fatmi, Ukhuwah Islamiyah adalah salah satu akhlak Islam yang menjadi dasar masyarakat Islam yang paling penting setelah Tauhidullah, atau mengesakan Allah.
Ukhuwah atau persaudaraan Islam adalah wasilah utama untuk ‘izzul Islam wal-muslimin. Ukhuwah dan persaudaraan Islam adalah jalan terdekat untuk memperoleh ampunan dan ridha Allah SWT.
Esensi atau mewujudkan Ukhuwah Islamiyah bukan berarti harus satu pendirian, kepentingan dan satu pendapat dalam segala urusan, melainkan terletak pada sikap hati dan jiwa.
Allah SWT menyampaikannya dalam Al-Quran bahwa untuk mewujudkan Ukhuwah Islamiyah dan mewujudkan kasih sayang di antara manusia diperlukan rahman dan rahim Allah SWT. Beberapa langkah yang diperintahkan Al-Quran untuk menjaga dan melestarikan Ukhuwah Islamiyah, pada saat kita berbeda pendapat dengan orang lain antara lain.
Kita semua harus siap meninggalkan pendapat kita sendiri dan mengikuti pendapat orang lain, apabila ternyata pendapat orang lain itu dilandasi oleh ayat Al-Quran atau hadits yang shahih, sedangkan pendapat kita tidak didasarkan kepada dalil yang dapat dipertanggung jawabkan.
“Apabila kalian bertentangan dalam suatu hal, maka kembalikan kepada Allah (Al-Quran) dan kepada Rasulallah (Al-Hadist).” (QS. An-Nisa’, 4-59)*
Hal lain yang tidak kalah penting dalam mewujudkan Ukhuwah Islamiyah adalah kemampuan diri kita masing-masing untuk menghindari diri dari berbagai sikap yang dapat meretakkan sendi-sendi ukhuwah dan dapat menggoyahkan fundamen persaudaraan.
Yang terpenting adalah menegakkan akhlaqul kharimah, akhlaq ukhuwah islamiyah.
Bila terjadi perbedaan pada sesama muslim, sepanjang akhlak ukhuwah masih kuat, perbedaan itu tidak akan melahirkan keretakan dan pertentangan.
Secara terperinci Al-Quran memberikan petunjuk tentang sikap dan langkah yang mesti menjadi milik dan ciri pribadi muslim. Langkah tersebut antara lain:
Husnudzan, berbaik sangka kepada saudaranya yang mukmin. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian orang lain..” (Q.S. Al-Hujurat 49:12
Tabayyun, selektif dalam menerima informasi. Rasulullah bersabda, “Cukup seorang itu dikatakan sebagai pendusta apabila dia menceritakan apa saja yang ia dengar (sebelum ia dicek kebenarannya).” H.R Bukhari.
Salah satu contoh nyata adalah terlalu cepat jari meneruskan dan menebarkan info yang masuk di android ke berbagai medsos, sementara yang bersangkutan tidak mengerti betul dan tak bisa bertanggungjawab dengan berita yang disebarkannya itu, efeknya tanpa ia sadari terjebak sebagai pelaku dosa jariyah.
Menjaga persatuan dan persaudaraan Islam dengan komunikasi yang harmonis adalah wajib, sementara larut dalam perbedaan dalam amalan sunat sebagai perkara furu’iyah tidak dibenarkan karena ia dapat merusak ukhuwah Islamiyyah sebagai perkara Ushul.
Taushiyah, saling wasiat mewasiati. Mukmin yang baik itu bukan manusia yang tanpa cacat dan salah, tapi manusia yang selalu sadar akan kesalahan dan kelemahan dirinya serta berusaha untuk saling sadar sadar menyadarkan, nasehat menasehati bukan saling menjelak-jelakan apalagi membuka aib seseorang.
Islah, usaha pemberesan.
Mengendapkan kesalah pahaman bukanlah penyelesaian yang tuntas, tapi tergesa-gesa untuk melakukan kritik terbuka seringkali tidak mampu menuntaskan permasalahan. Sebab yang diselesaikan bisa jadi bukanya hanya kesalahpahaman yang nampak di luar, tapi mungkin berakar dalam diri yang lebih dalam sehingga penyelesaiannya diperlukan kearifan yang tidak hanya mampu menundukan argumentasi tapi melunakkan jiwa dan meluluhkan rasa, seperti yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah bernama Salman Al Farisi yang menasehati saudaranya bernama Abu Dardak, yang terlalu fokus dengan puasa dan Tahajud sehingga ada hak orang lain dari dirinya yang belum diberikan yakni hak anak dan isterinya terabaikan.
Sementara peduli penuh terhadap keluarga adalah ibadah sosial, yang jauh lebih besar pahalanya dibandingkan dengan ibadah spritual yang ia fokuskan.
Tenggang rasa, Islam berpesan agar setiap muslim dalam segala sikapnya senantiasa mempertimbangkan perasaan orang lain. Segala sikap dan ucapan seorang mukmin harus senantiasa dipengaruhi oleh pertimbangan kemaslahatan dan kebaikan bagi orang lain.
Jangan menyulitkan diri dan jangan menyulitkan orang lain.
Silaturahmi. Menghubungkan tali silaturahmi itu bukanlah mewujudkan tali kasih sayang dengan orang yang siap bersilaturahmi saja. “Silaturrahmi yang sungguh-sungguh, jika kamu siap mewujudkannya terhadap orang yang memusuhi kamu.” (Hr. Bukhari). (IA)