Dalam sebuah webinar, Sir Muqtasid, terhentak dengan sebuah pertanyaan seorang peserta. “Perbankan Syariah bukan model Islami”, katanya, “Ini karena bank Syariah dikembangkan dari bank konvensional menggunakan model bisnis, produk dan pelayanan yang sama dengan konvensional.
Sekuat apapun usaha Islamisasi dilakukan tidak akan menjadikan bank konvensional menjadi Syariah. Paradigma konvensional akan terus melekat bukan saja dalam sistemnya, tetapi juga orangnya yang dibesarkan dalam sistem tersebut. “Lalu pertanyaan saya: “Sudah Syariahkah Bank Syariah hari ini?” Tutup si penanya dengan nada suara yang agak tinggi.
Sir Muqtasid terdiam menghayati pernyataan ini. Ini sebuah statemen yang keren, pikirnya. Bukankah perbankan Syariah sudah dikembangkan selama lebih kurang 40 tahun? Tetapi tetap saja diidentikkan dengan bank konvensional. Masyarakat masih belum melihat dengan jelas perbedaan keduanya.
Bukan itu saja, beberapa praktisi perbankan Syariah ketika menawarkan produknya kepada Sir Muqtasid mengatakan “Sebenarnya produk ini sama dengan konvensional, cuma bunganya sudah diganti”. Sir Muqtasid larut dalam pikirannya sendiri, sementara dua penanya lain terus mengemukakan pertanyaan.
Setelah selesai tiga penanya bertanya. Sir Muqtasid dipersilakan memberikan tanggapannya. Karena fikirannya yang sedari awal larut pada penanya pertama, Sir Muqtasid hanya memberi perhatian kepada pertanyaan itu.
Sir Muqtasid memerah otaknya mencari jawaban. Akhirnya, ia berkata: “Permasalahannya bukan pada Islamisasi. Islamisasi sesuatu yang normal dalam peradaban Islam. Sedari awal kemunculannya, Islam melakukan islamisasi.
Bukan saja sistem masyarakat jahiliyah menjadi korban Islamisasi, tetapi juga system lainnya yang dijalankan oleh Persia, Romawi, bahkan sampai ke Nusantara.”
“Dalam konteks perbankan Syariah hari ini”, kata Sir Muqtasid, “masalahnya adalah Islamisasi tidak dipahami dengan benar”.
Pertama, Islamisasi adalah perubahan paradigma. Paradigma adalah cara berfikir dan cara bertindak. Paradigma adalah cara berinteraksi dan berbisnis. Bankir Syariah, masih dalam paradigma konvensional.
Cara berfikir, bentindak, berinteraksi dan berbisnisnya belum berubah.
Kedua, Islamisasi bukan sekedar ganti baju.
Tugas bank Syariah, bukan mengganti akad ribawi menjadi non-ribawi. Tetapi menjadikannya akad Syar’i. Bisa saja, transaksi tersebut sudah tidak ada unsur riba-nya, tetapi belum syar’i. Dengan kata lain sudah non-ribawi, cuma belum syar’i.
Bunganya sudah tidak ada lagi, dan diganti dengan bay’ murabahah (non-ribawi), tetapi, tidak ada barang yang dijualbelikan, nasabah dikasih duit dan dijadikan wakil untuk membeli barang, tetapi tidak ada barang yang dibeli dan bank tidak minta bukti pembelian, akhirnya nasabah berfikir sama saja seperti pinjam di bank konvensional.
Bank Syari’ah baru ganti baju, tetapi orangnya belum merasakan bahwa beliau sudah ganti baju.
Ketiga, Islamisasi adalah perubahan sistem. “Ini berat”, kata Sir Muqtasid. “Selama masih dalam sistem keuangan konvensional, perbankan Syariah ibarat perawan di sarang penyamun. Terlihat menarik, tetapi tidak bisa berbuat banyak. Mencoba melarikan diri, tetapi akhirnya menjadi pelayan penyamun”.
Sementara pertanyaan “Sudah Syariahkah Bank Syariah? ” menurut Sir Muqtasid salah redaksi. Yang lebih tepat adalah “Sudah Syariahkah Bankir Syariah?”. Ini karena proses Islamisasi itu dilakukan oleh para bankir dan syariah tidaknya bank syariah, itu di tangan mereka.
Bank Syariah bisa dianggap tidak Syar’i kalau Bankirnya tidak paham paradigma Islamisasi seperti yang saya jelaskan.
Demikian, tutup Sir Muqtasid, meninggalkan dua pertanyaan lainnya tidak terjawab, sambil mencari-cari wajah penanya di ruang zoom. Jelas terlihat, penanya tadi masih bingung dengan jawaban Sir Muqtasid, tetapi beliau sendiri merasa puas dengan jawabannya.
Sambil tersenyum, terbersit dalam fikiran Sir Muqtasid, “Islamisasi itu hanya usaha, kesuksesan Allah yang tentukan. Saya hanya menjawab, kebenaran jawaban tergantung pemahaman masing-masing. Kalau pemahaman sesuai jawaban, maka benarlah jawaban tersebut, kalau berbeda, yang perlu ditingkatkan adalah pemahamannya. Karena jawaban saya sudah cukup baik” peserta webinar di ruang zoom pasti heran melihat Sir Muqtasid tersenyum sendiri.
Banda Aceh, 12/9/2020
*Penulis Wakil Dekan I Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Ar-Raniry