Takengon – Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah telah memberi ruang mendukung penelitian (riset) berkenaan pemanfaatan tanaman ganja sebagai tanaman obat – obatan (edis).
Hal itu disampaikan Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar saat menerima perwakilan Yayasan Sativa Nusantara, di ruang kerja bupati, Kamis (14/1), dengan agenda menyampaikan perkembangan urgensi pembentukan peraturan menteri kesehatan sebagai regulasi izin atas memperoleh, menanam, menyimpan dan menggunakan tanaman ganja sebagai bahan industri medis dan farmasi.
Singgih Tomi Gumilang SH selaku perwakilan Yayasan Sativa Nusantara dalam kesempatan tersebut memaparkan gambaran dokumen Blue Print proyek yang bertitle “Menuju industri pemanfaatan Ganja Nasional tahun 2025”.
Cannabis Sativa atau yang lebih dikenal dengan tanaman Ganja, merupakan tanaman semusim yang tingginya dapat mencapai 2 meter. Berdaun menjari dengan bunga jantan dan betina ada di tanaman berbeda. Bunganya kecil-kecil dalam kumpulan di ujung ranting. Tumbuhan yang hanya tumbuh di pegunungan tropis dengan ketinggian diatas 1.000 M di atas permukaan laut.
Dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ganja sendiri tergolong narkotika golongan I bersama dengan sabu, kokain, opium, heroin. Izin penggunaan terhadap narkotika golongan I hanya dibolehkan dalam hal-hal tertentu, dan di luar itu, maka dianggap melanggar hukum alias ilegal.
Selain itu, UU Nomor 35/2009 juga melarang konsumsi, produksi, hingga distribusi narkotika golongan I. Kemudian, setiap orang yang memproduksi atau mendistribusikan narkotika golongan I diancam hukuman pidana penjara hingga maksimal seumur hidup dan/atau hukuman mati. Sementara bagi penyalahgunaan narkotika golongan I diancam pidana paling lama 4 tahun penjara.
“Di Indonesia sendiri tanaman ganja secara tegas diatur dalam UUUNomor 35 tahun 2009 pasal 8 ayat 1 tentang Narkotika Golongan 1 tidak boleh digunakan, bahkan untuk kebutuhan medis,” tegas Bupati Aceh Tengah.
Namun, lanjutnya jika pemerintah pusat serius mau mengelola ganja dengan bijak, maka langkah berikutnya adalah menyampaikan pada pihak legeslatif untuk merevisi UU tersebut, sebagai upaya mencegah penyalahgunaannya.
Seperti diketahui, di sejumlah negara maju, pelegalan ganja untuk kebutuhan medis dan industri telah dibenarkan, namun untuk penyalahgunaan dan peredaran ilegalnya tetap akan diancam dengan hukuman tegas, bahkan diantaranya diganjar hingga dengan hukuman mati.
Pada akhirnya pemerintah didorong untuk mengatur pemanfaatan ganja untuk kepentingan medis melalui revisi UU Narkotika, menyusul dikeluarkannya ganja dari golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961 oleh Komisi PBB untuk Narkotika, kiranya diharapkan nantinya pemanpaatan tanaman ganja (Cannabis Sativa) untuk bidang kesehatan, medis dan farmasi memerlukan sebuah Regulasi bukan Legalisasi. (IA)