LANGKAT — Kepolisian Polda Sumatera Utara telah memeriksa 11 orang terkait temuan kerangkeng manusia di rumah bekas Bupati Langkat, Terbit Rencana Peranginangin, yang diduga menjadi tempat perbudakan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Kepolisian Indonesia Brigjen Pol Ahmad Ramadhan mengatakan, pemeriksaan itu dalam rangka meminta keterangan sejumlah pihak yang ditemui di lokasi yang disebut sebagai tempat pembinaan itu.
“Semuanya 11 orang,” kata Ramadhan dilansir dari Antara, Selasa (25/1).
Menurut dia, pihak-pihak yang dimintai keterangan itu di antaranya pengurus tempat pembinaan, termasuk “warga binaan” yang mengikuti pembinaan di tempat itu. Kemudian kepala desa setempat, sekretaris desa dan kepala Dinas Sosial Kabupaten Langkat.
Sebelumnya, Polda Sumatera Utara membentuk tim gabungan yang terdiri atas Direktorat Kriminal Umum, Direktorat Narkoba, Intelijen dan berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait guna mendalami informasi terkait temuan tempat binaan di rumah bekas bupati Langkat.
Dari hasil temuan sementara, tempat binaan tersebut berada di lahan seluas satu Hektare, terdapat dua bangunan dengan ukuran 6×6 meter persegi yang terbagi dua kamar. Antar kamar dibatasi dengan jeruji besi selayaknya bangunan sel. Ruang itu berkapasitas lebih dari 30 orang.
“Setelah ditelusuri bahwa bangunan tersebut telah dibuat sejak 2012, atas inisiatif bupati dan belum terdaftar dan belum memiliki izin sebagaimana diatur dalam undang-undang,” kata Ramadhan.
Berdasarkan keterangan dari penjaga bangunan, didapati bahwa tempat itu digunakan untuk orang-orang yang kecanduan narkoba dan pembinaan kenakalan remaja. Para penghuni tempat tersebut diserahkan keluarga kepada pengelola untuk dibina, dimana orang-orang yang dibina menyeratakan surat pernyataan dari pihak keluarga yang bersedia dibina.
Saat ditemukan tempat pembinaan tersebut didapati ada 48 orang yang menghuni tempat pembinaan itu. Kemudian hasil pemeriksaan, tersisa 30 orang yang sebagian sudah dipulangkan dan dijemput keluarganya.
Selain itu, mereka yang dibina di sana sebagian dipekerjakan di pabrik kelapa sawit milik bekas bupati Langkat, dengan maksud untuk membekali warga binaan dengan keahlian sebagai bekal setelah bebas dari pembinaan.
“Mereka tidak diberi upah, karena mereka dalam pembinaan, tapi diberi pangan ekstra dan makan,” kata Ramadhan.
Seperti diketahui, Migrant Care menemukan penjara pribadi belakang rumah Peranginangin, terdapat 40 orang pekerja yang ditahan di dalam jeruji besi pribadi itu.
Menurut dugaan temuan Mingrant Care, para pekerja diduga tidak mendapatkan perlakuan baik, seperti tidak mendapat makanan layak saji, tidak mendapatkan upah gaji yang sesuai atau bahkan tidak di gaji serta perlakuan penganiyaan dan penyiksaan kepada para tahanan pekerja sawit itu.
Komisioner Komnas HAM Muhammad Choirul Anam mengakui bahwa kasus dugaan kepemilikan kerangkeng manusia oleh Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Perangin Angin merupakan kasus tak biasa.
“Sepanjang pengalaman kami, model kayak begini baru kali ini, minimal sepanjang pengalaman saya di Komnas HAM dan kehidupan HAM,” ujar Anam kepada Kompas.com pada Selasa (25/1/2022).
“Siapa pun di Indonesia ini kan tidak boleh memiliki otoritas untuk memenjarakan orang atas nama apa pun dan siapa pun,” lanjutnya.
Komnas HAM mengaku akan segera mengirim tim investigasi ke Langkat guna melakukan investigasi.
Komnas HAM dan Polri Investigasi Kerangkeng Manusia Milik Bupati nonaktif Langkat
Investigasi lebih jauh perlu dilakukan karena masih ada sejumlah tanda tanya yang belum dapat dijawab dari keberadaan kerangkeng manusia ini.
Misalnya, mengenai jumlah pasti pekerja yang dikurung di sana, dari mana asal mereka, sejak kapan perlakuan itu mereka terima, hingga keterkaitan Terbit sebagai Bupati Langkat nonaktif dengan perkebunan sawit.
Hingga sekarang, berdasarkan laporan dari Migrant Care kepada Komnas HAM, Senin (24/1/2022), diketahui sedikitnya 40 pekerja sawit berada di dalam kerangkeng yang berlokasi di belakang rumah Terbit.
“Bahwa ada model pemenjaraan dan lain sebagainya ada yang dikelola oleh sebuah panti untuk teman-teman disabilitas mental, misalnya. Tapi kan itu terbuka, semua orang bisa akses,” tutur Anam.
“Tapi karakter yang seperti ini baru sekali ini. Bahwa diakui memang serupa penjara itu ada, dilakukan di luar otoritas, artinya tidak punya kewenangan untuk membikin penjara tersebut, dan keberadanya juga tidak memiliki izin,” lanjutnya.
Para pekerja sawit dalam kerangkeng manusia itu disebut bekerja sedikitnya 10 jam setiap harinya.
Setelah dimasukkan ke dalam kerangkeng selepas kerja, mereka tidak memiliki akses untuk ke mana-mana dan hanya diberi makan 2 kali sehari secara tidak layak.
“Mereka tentu tidak punya akses komunikasi dengan pihak luar. Mereka mengalami penyiksaan: dipukul, lebam, dan luka. Selama bekerja mereka tidak pernah menerima gaji,” ungkap Ketua Migrant Care, Anis Hidayah. (IA)