BANDA ACEH – Penggunaan bahasa daerah Aceh saat ini mulai berkurang, bahkan ditinggalkan oleh generasi muda. Masyarakat Aceh tidak lagi menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa ibu.
Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh menyatakan, penggunaan bahasa daerah Aceh berkurang di kalangan post gen Z yang lahir 2013 ke atas dibandingkan generasi pre boomer (sebelum 1945). Hal itu berdasarkan laporan long form sensus penduduk 2020.
Untuk itu, Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh Musriadi mendorong Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh agar melahirkan regulasi tentang pelestarian bahasa Aceh.
Musriadi menyebutkan, berdasarkan hasil riset Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) terdapat 169 dari 746 bahasa daerah yang ada di Indonesia terancam punah.
“Kita mendorong Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Banda Aceh berinovasi dalam menyelenggarakan pembelajaran bahasa Aceh,” kata Musriadi, Selasa (7/2/2023).
Menurutnya, pembelajaran bahasa Aceh dapat dialokasikan pada mata pelajaran, guru yang berkualifikasi, guru berkompetensi khusus tentang bahasa Aceh dan prasarana sarana penunjang pembelajaran di semua jenjang pendidikan.
Politisi PAN ini berharap, dengan adanya program sehari berbahasa Aceh bagi warga Kota Banda Aceh, bahkan tak hanya di sekolah, tapi juga khusus bagi aparatur sipil negara (ASN) dan instansi pemerintah serta swasta dapat menjadi alat komunikasi pada pelayanan publik, seperti yang dilakukan di daerah Indonesia lainnya.
“Yang paling urgen dan efektif melestarikan bahasa Aceh idealnya di lembaga pendidikan dengan cara memaksimalkan mata pelajaran bahasa Aceh sebagai muatan lokal wajib pada tingkat SD atau MI hingga tingkat SMP atau MTs,” ujarnya.
“Kita berharap PTS dan PTN juga membuka prodi bahasa Aceh di perguruan tinggi di Aceh, agar permasalahan kekurangan guru bahasa Aceh yang berkualifikasi dan berkompetensi di bidangnya terselesaikan,” tuturnya.
Musriadi menambahkan, kekhawatiran terhadap bahasa Aceh dari waktu ke waktu akan terus terdegradasi dan punah karena tidak lagi dituturkan, perlu secepatnya mendapat tindakan dari pemerintah.
Pemerintah, kata Musriadi harus menyiapkan langkah dan strategi agar bahasa Aceh terus dilestarikan oleh para generasi Aceh.
“Dengan adanya regulasi bisa menjadi pijakan dalam mengimplememtasi bahasa Aceh sebagai kearifan lokal dan budaya Aceh,” pungkasnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh menyatakan, penggunaan bahasa daerah Aceh berkurang di kalangan post gen Z yang lahir 2013 ke atas dibandingkan generasi pre boomer (sebelum 1945). Hal itu berdasarkan laporan long form sensus penduduk 2020.
“Penggunaan bahasa daerah oleh post gen Z (2-9 tahun) sebesar 64,36 persen, angka ini jauh berkurang dibandingkan generasi pre boomer (di atas 75 tahun) yang jumlahnya mencapai 89,93 persen,” kata Koordinator Fungsi Statistik Sosial BPS Provinsi Aceh, Dadan Supriardi, di Banda Aceh, Jum’at (3/2/2023).
Dadan menyampaikan, penggunaan bahasa secara berangsur-angsur menurun pada generasi selanjutnya. Misalnya pre boomer (mulai usia 77 tahun) sebesar 89,93 persen, lalu pada baby boomer (58-76 tahun) sebesar 85,72.
Kata Dadan, angkanya terus menurun pada generasi gen X (42-57 tahun) sebesar 82,27 persen, millenial (26-41 tahun) 79,76, gen Z (10-25 tahun) sebesar 74,77 persen. Penggunaan bahasa daerah pada enerasi paling muda post gen Z (2-9 tahun) jumlahnya turun lagi menjadi 64,36 persen.
“Penggunaan bahasa daerah baik di keluarga maupun di tetangga atau kerabat menunjukkan persentase yang semakin menurun,” ujar Dadan.
Sementara itu, Pamong Budaya Ahli Muda Balai Pelestarian Wilayah I Provinsi Aceh Essi Hermaliza mengatakan, degradasi penggunaan bahasa daerah tidak hanya terjadi di Aceh, tetapi juga hampir terjadi di seluruh dunia.
“Menurut data UNESCO saja, 50 persen dari 6.000 bahasa di dunia terancam punah, 527 atau 17,6 persen dari bahasa yang dimaksud ada di Asia Tenggara,” katanya.
Sedangkan di Indonesia, kata dia, berdasarkan hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atau sekarang yang sudah berganti nama Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) terdapat 169 dari 746 bahasa daerah yang ada di Indonesia terancam punah. Jumlah penuturnya kurang dari 500 orang.
Selain itu, kata Essi, ancaman kepunahan juga terjadi pada bahasa Aceh karena kebiasaan baru masyarakat yang memperkenalkan Bahasa Indonesia sejak lahir sebagai bahasa ibu atau mother tongue.
“Ini kajian mahasiswa pascasarjana perguruan tinggi di Aceh tahun 2019 menunjukkan degradasi penggunaan bahasa daerah yang signifikan,” ujarnya.
Menurutnya, terkait persoalan itu perlu ditanamkan kembali rasa bangga menggunakan bahasa lokal melalui serangkaian langkah inovatif. Bila perlu, adanya sebuah aturan penggunaan bahasa daerah oleh Pemerintah Aceh.
“Diinternalisasikan lagi agar benar-benar menyentuh ke generasi muda yang pengaruh budaya asing lebih tinggi lagi dibanding generasi lebih tua,” katanya.
Essi menambahkan, pihaknya juga telah mengusulkan bahasa daerah di provinsi Aceh ini menjadi sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia untuk melindungi, mengembangkan dan dimanfaatkan sebagai objek pemajuan kebudayaan.
“Dengan harapan kelak akan ada langkah nyata untuk pelestarian bahasa daerah,” pungkas Essi. (IA)